Salah satu solusi konseptual yang realistis adalah mengadopsi model Mixed Member Proportional (MMP)—sistem campuran yang telah terbukti berhasil di Selandia Baru dan beberapa negara maju lain. Dalam sistem ini, setiap pemilih memiliki dua suara: satu untuk partai politik dan satu untuk calon/kader populer. Hal ini akan menghasilkan efisiensi tata kelola pemilu dari segi logistik surat suara dan penghitungan suara, termasuk proses penghitungan suara.
Formula ini mengombinasikan kekuatan sistem proporsional tertutup—yang memperkuat partai politik dan kaderisasi internal—dengan sistem pluralitas mayoritas berwakil tunggal atau distrik yang menjaga akuntabilitas langsung antara wakil rakyat dan pemilihnya. Implementasi sistem MMP akan mengakhiri fragmentasi politik yang tidak produktif, memperkuat loyalitas kader terhadap partai, dan menekan biaya kampanye yang selama ini menguras sumber daya calon maupun negara.
Namun, reformasi pemilu tidak boleh berhenti pada desain sistem semata. Revisi UU Pemilu perlu menyentuh tiga dimensi struktural yang selama ini menjadi sumber kelemahan politik Indonesia: aktor, manajemen, dan keadilan pemilu. Pertama, dari sisi aktor politik, partai harus diperkuat secara institusional. Peninjauan ulang ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) penting dilakukan untuk mengakomodir dan menghargai suara rakyat secara proporsional dan hal ini semakin mengurangi disproporsionalitas atau suara yg terbuang.
Kedua, dari sisi manajemen pemilu, RUU Pemilu harus berani menjadi pemilu menggunakan basis digital dan penguatan peran dan fungsi penyelenggara pemilu yang semakin berintegritas, profesional dan kuat.
Ketiga, dari sisi keadilan pemilu, reformasi harus dirancang untuk memberantas politik uang dan premanisme yang selama ini menjadi wajah kelam demokrasi lokal. Praktik ini muncul karena sistem politik yang terlalu terbuka dan tidak terinstitusionalisasi, di mana keberhasilan kampanye ditentukan oleh uang tunai dan kelompok koersif.