Kegagalan untuk segera merevisi UU Pemilu berarti membiarkan sistem lama terus menimbulkan ongkos sosial dan ekonomi yang tinggi. Jika reformasi struktural tidak dilakukan, maka Pemilu 2029 berpotensi mengulang pola yang sama: politik uang masif, fragmentasi koalisi ekstrem, serta instabilitas pasca-pemilihan. Kondisi ini akan menekan kemampuan fiskal negara dan menghambat realisasi program-program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran, termasuk Makan Bergizi Gratis dan pemerataan pembangunan nasional.
Dalam konteks inilah, revisi UU Pemilu harus dipandang bukan sekadar agenda teknis, melainkan fondasi dari visi besar Prabowo-Gibran untuk membangun Indonesia yang kuat, efisien, dan berdaulat secara politik maupun ekonomi.
Reformasi politik membutuhkan keberanian, bukan kompromi. Sejarah menunjukkan bahwa sistem politik yang dibiarkan berjalan di atas fondasi rapuh akan selalu melahirkan ketidakpastian ekonomi, korupsi, dan stagnasi pembangunan. Pemerintah saat ini memiliki mandat dan momentum untuk mengubah arah sejarah itu. Dengan mengadopsi sistem campuran MMP yang teruji dan melaksanakan tiga pilar reformasi struktural—penguatan partai, efisiensi birokrasi politik, serta pemberantasan transaksionalitas—Indonesia dapat keluar dari perangkap demokrasi mahal menuju tatanan politik yang lebih adil, rasional, dan produktif.
Reformasi pemilu bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa demokrasi benar-benar adil dan setara serta bekerja bagi rakyat, bukan bagi segelintir elite yang mampu membeli kekuasaan.
Oleh: Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah (pengajar dan aktivis demokrasi & kepemiluan)
(Arief Setyadi )