Trump Surati Presiden Israel, Desak Pengampunan Penuh untuk PM Netanyahu

Rahman Asmardika, Jurnalis
Kamis 13 November 2025 08:21 WIB
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Foto: X)
Share :

JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengirim surat kepada Presiden Israel Isaac Herzog, secara resmi mendesaknya untuk “memberikan pengampunan penuh” kepada Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, yang menghadapi tuduhan penyuapan, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan terkait tiga kasus terpisah. Persidangan terhadap kasus-kasus Netanyahu telah berlangsung selama lima tahun terakhir dan terus tertunda karena konflik.

Dalam surat tersebut, Trump menulis bahwa ia “sepenuhnya” menghormati independensi sistem peradilan Israel, tetapi meyakini Netanyahu menghadapi “penuntutan politik yang tidak beralasan.”

Kantor Herzog menyatakan bahwa ia sangat menghormati Trump, tetapi siapa pun yang mengajukan pengampunan harus mengajukan permohonan resmi.

Netanyahu kemudian berterima kasih kepada Trump atas “dukungan luar biasa” tersebut.

“Seperti biasa, Anda langsung ke intinya dan mengatakan apa adanya,” tulisnya di X, sebagaimana dilansir BBC. “Saya berharap dapat melanjutkan kemitraan kita untuk memperkuat keamanan dan memperluas perdamaian.”

Pada 2020, Netanyahu menjadi perdana menteri Israel pertama yang masih menjabat dan diadili.

Dalam kasus pertama, jaksa menuduh ia menerima hadiah—terutama cerutu dan sampanye—dari para pengusaha berpengaruh sebagai imbalan bantuan. Dalam kasus kedua, ia dituduh menawarkan bantuan untuk meningkatkan sirkulasi sebuah surat kabar Israel dengan imbalan liputan positif.

 

Dalam kasus ketiga, jaksa menuduh ia mempromosikan keputusan regulasi yang menguntungkan pemegang saham pengendali sebuah perusahaan telekomunikasi Israel dengan imbalan liputan positif oleh sebuah situs berita.

Netanyahu mengaku tidak bersalah atas semua tuduhan dan menyebut persidangan tersebut sebagai “perburuan penyihir” oleh lawan-lawan politiknya.

Bulan lalu, setelah membantu menengahi gencatan senjata dua tahun antara Israel dan Hamas di Gaza, Trump mengatakan Herzog harus mengampuni sekutu dekatnya dalam pernyataan spontan di pidatonya di parlemen Israel.

Kantor Herzog menanggapi surat Trump secara diplomatis, menyatakan “menghormati Presiden Trump dan terus menyampaikan apresiasi mendalam atas dukungan teguhnya terhadap Israel.”

Tanggapan tersebut juga dengan sopan menegaskan bahwa “siapa pun yang mengajukan grasi presiden harus mengajukan permohonan resmi sesuai prosedur yang berlaku.”

Menurut Hukum Dasar Israel, presiden “berwenang mengampuni pelaku kejahatan serta mengurangi atau mengubah hukuman mereka.” Namun, Mahkamah Agung sebelumnya memutuskan bahwa presiden dapat mengampuni seseorang sebelum dihukum, jika hal tersebut demi kepentingan publik atau ada keadaan pribadi yang luar biasa.

Permohonan grasi juga perlu diajukan oleh terdakwa atau kerabat dekatnya.

Sejauh ini belum ada indikasi publik mengenai hal tersebut, meskipun ada spekulasi di media Israel bahwa hal itu mungkin terjadi.

 

Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Israel, Itamar Ben-Gvir, mendesak Herzog untuk “mendengarkan Presiden Trump,” dengan mengatakan bahwa persidangan Netanyahu telah “menjadi dakwaan terhadap jaksa penuntut itu sendiri, yang kecerobohan dan kejahatannya terungkap di pengadilan setiap hari.”

Namun, pemimpin oposisi Israel sekaligus mantan perdana menteri, Yair Lapid, menulis di X: “Pengingat: Hukum Israel menetapkan bahwa syarat pertama untuk menerima pengampunan adalah pengakuan bersalah dan pernyataan penyesalan.”

Ia kemudian mengatakan kepada parlemen Israel: “Akan tiba saatnya ketika orang-orang harus berkata pada diri mereka sendiri... kita juga harus mengatakan ‘tidak’ kepada presiden Amerika. Kita adalah negara berdaulat; ada batas untuk campur tangan.”

Bagi partai sayap kanan Likud dan para pendukung Netanyahu, pengampunan telah lama diupayakan sejak awal persidangan. Namun bagi banyak warga Israel—terutama di kubu kiri—hal itu akan dipandang sebagai langkah lain yang menjauhkan negara tersebut dari citra dirinya sebagai demokrasi yang kuat dengan sistem hukum yang kokoh.

Kekhawatiran itu muncul seiring rencana pemerintah melakukan reformasi peradilan, yang sebelumnya telah memicu ratusan ribu orang turun ke jalan dalam aksi protes berbulan-bulan sebelum serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu perang Gaza.

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya