JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta membudayakan rasa malu terhadap rakyat. Aksi Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dan sejumlah organisasi buruh yang merantai diri di pagar DPR serta menginap di gerbangnya bertujuan agar anggota DPR mendengar tuntutan mereka yang mendesak pembahasan RUU PRT.
“Ini kritik sekaligus otokritik bagi saya pribadi sebagai anggota DPR. Mari kita budayakan rasa malu pada rakyat," kata Anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka di Jakarta, Selasa (13/12/2011).
Rieke menyatakan alangkah ironisnya rakyat yang sekadar meminta undang-undang, harus merantai dirinya bahkan, menginap di gerbang DPR hingga kemarin (12/12/2011). Padahal, memang sudah tugas DPR membuat dan membahas suatu undang-undang.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR itu menjelaskan, sebenarnya RUU PRT telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2009-2014. Bahkan, masuk Prolegnas Prioritas tahun 2010 dan 2011. Dalam rapat Komisi IX DPR pada 12 Mei lalu diputuskan akan membahas RUU PRT dan meminta bagian Perundang-undangan Setjen DPR menyiapkan draft awal RUU PRT. Pada bulan yang sama juga Komisi IX telah membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU PRT.
Hal tersebut semakin diperkuat dengan Setjen DPR yang mempresentasikan draft RUU PRT. Namun, entah mengapa Baleg tidak memasukkan RUU PRT dalam daftar Prolegnas Prioritas 2012. Sebaliknya, DPR malah mengusulkan revisi UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang masuk sebagai prioritas. Padahal, para buruh menolak karena ditengarai akan mengebiri hak-hak normatir buruh Indonesia.
Rieke mengatakan, perlindungan hukum penting bagi PRT. Sebab, saat ini Indonesia belum memiliki instrumen hukum untuk melindungi PRT yang bekerja di ranah privat dengan risiko kekerasan yang bisa menimpa para PRT.
Data yang berhasil diperoleh Rieke, saat ini jumlah PRT di Indonesia sebanyak 10.744.887 jiwa. Sedangkan Jumlah PRT migran dari Indonesia atau TKI kurang lebih 6 juta. Jumlah PRT mengalami peningkatan dari tahun ke tahun karena pekerjaan sebagai PRT sangat dibutuhkan oleh segala lapisan.
Umur PRT dalam negeri di dibawah 18 tahun (30%-35%) dan rata-rata pendidikan formal mereka adalah SD-SMP (80%). "Bagaimana mungkin kita mendesak negara lain penerima TKI kita yang mayoritas PRT, jika di dalam negeri kita sendiri tak ada kepastian hukum dan perlindungan yang diatur dalam undang-undang?," tanya Rieke.
Berdasarkan hasil temuan lapangan JALA PRT di 10 kota di Indonesia memperlihatkan ada permasalahan struktural dan kultural terhadap PRT seperti gaji rendah, gaji tidak dibayar, potongan upah, tidak ada hari libur, waktu istirahat tidak cukup, waktu kerja lebih dari 16 jam sehari, sulit berkomunikasi dengan keluarga dan lingkungan, kekerasan, pelecehan seksual sampai meninggal.
(Insaf Albert Tarigan)