YOGYAKARTA - Sosok Soeratin Sosrosoegondo dianggap pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional. Kemenpora bersama PSSI 'berjuang' agar inisiator pendiri PSSI itu mendapatkan gelar terhormat tersebut. Terlebih, selama ini belum pernah ada gelar pahlawan nasional dari cabang olahraga.
Ada satu hal yang menghambat Soeratin mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, yakni ketiadaan kajian akademis. Jika sudah ada, maka pemerintah melalui Kementerian Sosial yang memberikan gelar bisa menjadikan Soeratin sebagai Pahlawan Nasional.
Pengurus PSSI sekaligus mantan wartawan, Eddi Elison menelurkan buku berjudul 'Soeratin Sosrosoegondo: Menentang Penjajahan Belanda dengan Sepak Bola Kebangsaan'. Buku setebal 180 halaman itu akan dikupas pada Minggu, 15 September nanti di Rich Hotel Yogyakarta bersamaan dengan adanya seminar nasional.
Menteri Pemuda dan Olah Raga, Roy Suryo direncanakan hadir sebagai pembicara. Diharapkan seminar itu bisa menjadi salah satu kajian akademis, sehingga nama Soeratin Sosrosoegondo bisa menjadi pahlawan nasional.
"Kami semua berharap Soeratin Sosrosoegondo bisa menjadi Pahlawan Nasional, apalagi belum ada pahlawan nasional yang berjuangannya melalui dunia olahraga," kata Deputi Promosi dan Penghargaan Kemenpora, Chandra Bhakti.
Sementara Eddi menyampaikan sosok Soeratin Sosrosoegondo pantas mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Pria kelahiran Tebing Tinggi, Sumatra Utara pada 13 Juni 1944 itu, mengaku, sudah berusaha keras supaya Soeratin mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
"Selain membuat buku, saya bergerak mengumpulkan data dan meminta rekomendasi dari berbagai pihak, termasuk mengadakan sarasehan 'Peran Sepak Bola Sebagai Alat Perjuangan Bangsa' dengan tema 'Soeratin, Pelopor Sepakbolawan Melawan Penjajahan'. Sarasehan itu dilaksanakan pada 23 Juni 2006 lalu dengan pembicara utama Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan dari LIPI," kata Eddi.
Kesimpulan dari sarasehan itu ada dua hal yang patut diapresiasi. Pertama, Soeratin menemuhi persyaratan sebagai pahlawan nasioanl yang meliputi tiga kategori, yakni keberanian, pengorbanan, dan membela kebenaran dalam perjuangan.
"Dalam mendirikan PSSI, Soeratin berani menggunakan nama Indonesia dan mengibarkan bendera Merah Putih tahun 1933 di Stadion Sriwedari (Solo). Dia rela berkorban apa saja, di antaranya memilih keluar dari perusahaan konstruksi milik Belanda 'Bauwkunding Bureau Sitzen Lausad', karena memilih mengurus PSSI," katanya.
Kedua, lanjut Eddi, nilai-nilai perjuangan lain yang disampaikan Soeratin dengan mendirikan PSSI (19 April di Yogyakarta) adalah menanamkan nasionalisme dan nilai kebangsaan, sebagai wujud Sumpah Pemuda yaitu mengembangkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Eddi mengakui, sulit untuk menelusuri data-data perjuangan Soeratin, baik saat menjadi Ketua Umum PSSI, maupun berperan sebagai kepala berpangkat Letnan Kolonel dari delapan pabrik 'alat perang' di Jawa Barat, demi mengemban perintah Markas Besar TNI yang saat itu berpusat di Yogyakarta.
"Alhamdulillah, ada dua saksi hidup yang pernah seasrama dengan Soeratin di Nagrek, yakni Kol (Pur) H. Herrawan dan H. Soeparwoto (Mantan Letnan Muda TRI 1945-1950). Keduanya sudah berusia 84 tahun, dan masih dapat bercerita dengan gamblang," paparnya.
Sementara dari pihak keluarga, kata Eddi, sangat minim karena yang ada hanya pada tingkat cucu dari tiga anak Soeratin. "Hampir semuanya belum lahir, sementara orang tua mereka (anak Soeratin) sudah meninggal," jelasnya yang membuat buku Soeratin Sosrosoegondo di tahun 2005 silam.
"Saya terpaksa membongkar berita sekitar tahun 1930an yang terbit di Yogya dan Solo. Di Museum Pers Solo dan Perpustakaan Nasional di Jakarta hasilnya juga masih minim," kata Eddi.
Eddi mengakui kesulitan menelusuri data-data otentik secara visual perjuangan Soeratin. Namun, dia mengakui mendapatkan keterangan saksi hidup untuk bercerita menjadi andalan untuk menerbitkan buku perjuangan Soeratin Sosrosoegondo.
(Risna Nur Rahayu)