YOGYAKARTA - Menteri Pemuda dan Olahraga, KRMT Roy Suryo Notodiputro, berziarah ke Taman Makam Wijaya Brata di Tahunan, Umbulharjo, Yogyakarta. Di taman makam itu terdapat dua nama pahlawan nasional, yakni Ki Hajar Dewantara dan Ki Sarmidi Mangunsarkoro.
Selain dua nama itu, masih ada sekira 200 pelaku sejarah yang dimakamkan di tempat tersebut. Salah satunya, Soegondo Djojopoespito, Ketua Panitia Pelaksana Kongres Pemuda Indonesia II, yang menelorkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
"Kalau tidak ada Soegondo Djojopoespito, tidak ada Sumpah Pemuda. Meskipun Muh Yamin menuliskan tiga fungsi, satu nusa satu bangsa dan satu bahasa, tapi tanpa dilakukan kongres pemuda tahun 1928, tidak akan pernah ada Sumpah Pemuda," kata Roy Suryo, Kamis (24/10/2013).
Meski memiliki peran penting dalam perjuangan bangsa, namun Soegondo belum mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Namun, Soegondo pernah mendapat Bintang Jasa dari Presiden Soekarno.
“Kemenpora melalui Kemensos mengusulkan agar nama Soegondo Djojopoespito ini mendapatkan gelar Pahlawan Nasional," imbuhnya.
Roy Suryo mengatakan, berziarah ke makam Soegondo itu selain mendoakan, juga mengingatkan kembali sejarah perjuangan pemuda. Terlebih, setiap 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
"Ingat, Ki Hajar Dewantara, Soegondo yang disarekan (dimakamkan) di sini, atau bahkan Bung Karno itu ketika beliau-beliau memerdekakan bangsa ini dari keterpurukan zaman penjajah, beliau-beliau masih sangat muda usianya," katanya.
"Bung Karno saat Sumpah Pemuda masih berusia 27 tahun, Soegondo berusia 23 tahun, ini artinya gerakan kepada kita semua agar anak muda bisa bangit, berjuang demi nusa dan bangsa, pemuda harus bisa memimpin bangsa," jelasnya.
Hadir dalam kesempatan itu Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY Baskoro Aji, Majelis Luhur Yayasan Tamansiswa Prio Dwiarso, Soenaryo Djojopoespito yang tak lain putra ketiga almarhum Soegondo Djojopoespito, serta anak-anak sekolah dasar dari Tamansiswa, Yogyakarta.
Dalam kesempatan itu Soenaryo menyerahkan buku karya ibunya, Seowasih Djojopoespito berjudul "Manusia Bebas" kepada Menpora. Buku tersebut ditulis dengan Bahasa Sunda pada 1938, dan dicetak kembali dengan Bahasa Belanda pada 1940. Baru pada 1970, buku tersebut dicetak kembali dengan Bahasa Indonesia.
"Dulu Ibu saya hanya bisa Bahasa Sunda dan Belanda, sehingga dalam menulis buku ini dengan Bahasa Sunda dan Belanda. Ini sudah lama sekali saya ingin memberikan ke Pak Menteri, tetapi baru saat ini bisa bertemu, maka buku ini untuk Pak Menteri," kata Soenaryo yang lahir pada 1938.
Dalam batu nisan makam Soegonda Djojopoepito tertulis lahir pada 22-2-1905 dan wafat pada 23-4-1978. Sedang berada disebelahnya terdapat batu nisan istrinya, Soewarsih yang tertulis lahir 20-4-1912 dan meninggal 24-8-1977.