JAKARTA - Berbagai teori klasik hingga modern dikupas habis dalam ruang-ruang kelas perguruan tinggi. Bahkan, ruang-ruang kelas ini juga menjadi tempat kelahiran teori-teori baru dalam berbagai bidang ilmu.
Inilah esensi pendidikan tinggi; membuka ruang diskusi antarcivitas akademika. Namun tidak hanya itu, banyak hal lain yang dapat dipelajari di kampus. Misalnya, peradaban dunia. Tidak hanya melalui teori di ruang kelas, civitas akademika bisa langsung mempelajarinya di ruang publik; lewat interaksi dengan orang dari berbagai latar belakang yang tumpah ruah memenuhi kampus.
Dalam istilah Rektor University of Southern California (USC) CL Max Nikias, kampus adalah mikrokosmis dunia nyata. Di sini, ribuan orang dengan latar belakang budaya berbeda berkumpul menjadi satu keluarga. Civitas akademika USC sendiri menyebut diri mereka sebagai Trojan.
"Di kampus, mereka belajar untuk memahami dan menghormati budaya satu sama lain. Mereka menjalin persahabatan yang kami harap berlangsung untuk seumur hidup mereka," ujar Nikias, ketika berbincang dengan Okezone di sela-sela kunjungannya di Jakarta, belum lama ini. 
Untuk mencapai harapan tersebut, Nikias pun memfokuskan pendidikan sarjana di kampusnya melalui perkuliahan penuh tatap muka. USC, kata Nikias, pantang menyelenggarakan perkuliahan sarjana secara online.
Sebab, menurutnya, usia 17-22 tahun adalah masa paling transformatif dalam perkembangan seseorang sebagai makhluk hidup. Dan pada usia ini kita tidak hanya perlu belajar di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas melalui interaksi dengan sesama mahasiswa dan masyarakat.
"Dan ini juga salah satu alasan kami tidak menyelenggarakan kuliah online bagi mahasiswa S-1. Karena Anda akan kehilangan nuansa lingkungan internasional di kampus," imbuh Doktor dari State University of New York itu. 
Pada jenjang pendidikan S-1, ujar Nikias, mahasiswa layak mendapatkan lingkungan kondusif untuk belajar dan bertumbuh; 24 jam sehari, di dalam dan luar ruang kelas. Mahasiswa USC terbiasa mengikuti berbagai program seni dan humaniora pada malam hari. Mereka juga kerap berdiskusi tentang kehidupan dengan teman sebaya dari 50 negara bagian Amerika Serikat, 115 negara lain dan lebih dari 90 cara pandang agama. Inilah yang juga dilakukan oleh sekira 200 mahasiswa Indonesia di USC.
"Mereka sangat pintar. Salah satu alasan saya ke Jakarta adalah bertemu dengan alumni USC di Indonesia, yang jumlahnya sangat banyak. Saya harap akan makin banyak pelajar Indonesia menuntut ilmu di USC," tuturnya.
Nikias mengklaim, USC sangat mengedepankan diversitas mahasiswa. Buktinya, tingkat pendaftaran mahasiswa internasional di USC adalah yang paling tinggi di Amerika Serikat.
Sementara itu, dalam suatu kesempatan Nikias pernah menyatakan, keberadaan mahasiswa asing juga sebenarnya memberikan keuntungan bagi masyarakat Amerika. Mahasiswa asli Amerika dapat menjalin pertemanan dengan mahasiswa lain dari berbagai negara dan belajar tentang budaya mereka. Dengan begitu, mereka menjadi lebih siap menghadapi persaingan global.
(Rifa Nadia Nurfuadah)