JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari ternyata juga memiliki pengalaman sendiri saat pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April kemarin.
Politikus Partai Golkar itu gagal mengulang kesuksesan melenggang ke Senayan. Meski enggan berbicara banyak, Hajriyanto mengaku bila suara yang diraihnya hilang di daerah pemilihan (Dapil) IV Jawa Tengah, yang meliputi Kabupaten Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri.
Dari delapan kecamatan di Kabupaten Wonogiri yaitu Kecamatan Tirtomoyo, Eromoko, Slogohimo, Jatiroto, Manyaran, Wuryantoro, Girimarto, dan Purwantoro diakui oleh Hajriyanto suaranya banyak yang raib.
Meski di wilayah itu hilang, namun Hajriyanto enggan mengajukan gugatan ke Mahkamah konstitusi (MK). Yang membuat dirinya terkejut, politik uang pada Pemilu 2014 ini yang semakin canggih dan terbuka.
Dia melihat pelaksanaan Pemilu 2009 dijadikan arena pembelajaran untuk mempercanggih politik uang di pemilu ini.
"Tapi mau diapakan lagi, saya sudah kalah. Sudahlah tidak perlu dibahas lagi," papar Hajriyanto saat ditemui Okezone di Jakarta belum lama ini.
Penyebab Politik Uang
Hajriyanto berpandangan ada banyak faktor penyebab semakin masifnya politik uang pada pemilu kali ini. Pertama, karena sistem pemilu yang terlalu personal. Dengan sistem seperti itu, massa pemilih tau rumah tinggal para caleg.
Pria yang masih menjabat sebagai Wakil Ketua MPR itu menilai, persaingan antar caleg, terutama antar sesama partai yang ingin menang, juga menyebabkan politik uang semakin masif.
Dia tidak bisa memastikan apakah dengan diubahnya sistem pemilu lantas politik uang akan hilang. Faktor lain, adalah tingkat pendidikan dan kemiskinan. Tingkat pendidikan rakyat yang masih SMP/SMA menjadikan politik uang subur dan belum lagi angka kemiskinan 13,6 persen.
Faktor penyebab lainnya, kultur politik. Tak hanya di pemilu, pemilihan kepala desa saja juga berpotensi politik uang. Budaya money politics sudah setara dengan budaya korupsi. Anehnya lagi, bagi mereka yang senang mengumbar uang malah dianggap hal wajar.
"Saya itu kan sewaktu pileg tidak bagi-bagi uang, jadi saya tidak dilirik sama sekali oleh masyarakat. Beda dengan caleg yang obral uang, pasti dilirik. Padahal saya bertujuan untuk memberikan sekaligus mengajarkan politik yang bersih," paparnya.
Dia bahkan menyebut bahwa persoalan bagi-bagi duit itu merupakan bukti masih cacatnya demokrasi di Indonesia.
"Ini benar-benar cacat demokrasi di negeri ini. Ini patologi demokrasi kita. Kalau memang melanggar aturan-aturan yang ada dan terbukti melakukan money politic, hukum seberat-beratnya, sehingga ada efek jera,"jelasnya.
Pencurian suara
Menurut Hajriyanto, dalam pemilu ini dirinya mendapatkan suara sekira 40 ribu. Dengan hasil tersebut, Hajriyanto berada di peringkat ke tiga di bawah Endang Maria Astuti dan Wihaji. Sebenarnya, perolehan suara dirinya bisa melampaui angka 40 ribu bila suaranya tidak dicuri.
Dia mencontohkan di Kabupaten Karanganyar, dirinya mendapatkan suara sebanyak 16.250. Jumlah tersebut Endang yang hanya mendapatkan 13.427 atau berada di bawahnya.
Sedangkan di Sragen, suara Hajriyanto mendapatkan 11.146 suara jauh di bawah Wihaji. Caleg Partai Golkar itu mendapat 25.440 suara.
Sedangkan di Wonogiri, suara Hajriyanto hilang di 8 Kecamatan yang diakui Hajrianto sendiri tidak mengetahui berapa jumlah suaranya yang hilang. Di sana, dia hanya mendapatkan 12.958 suara di bawah Wihaji yang mendapatkan suara 13.775.
Meskipun para saksi sudah melayangkan protes terhadap hilangnya suara Hajriyanto, namun tidak berpengaruh apa-apa terhadap hasil.
Langkah pengungkapan dugaan kecurangan pemilu itu kembali kandas di KPU, karena Hajriyanto tidak tidak memiliki formulir C1.
Dituding mencuri suara
Hajriyanto tak hanya kehilangan suara, tapi juga dituding mencuri suara caleg Partai Golkar nomor urut di bawahnya. Munculnya tudingan yang ditujukan kepada Hajriyanto Tohari ini mencuat, saat para Caleg Partai Golkar yang berada di bawah Wakil Ketua MPR-RI ini ramai-ramai menolak menandatangani berita acara hasil pleno KPU.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Sragen, Koordinator tim pemenangan Wihaji, Herman Al Ahmad Saiman, secara tegas menolak hasil pleno KPU Sragen di Dapil IV (Sragen, Karanganyar dan Wonogiri).
Penolakan itu dilakukan menyusul masih adanya indikasi penggelembungan suara yang mengakibatkan suara Wihaji hilang sekira 820 suara. Pasalnya, ditemukan sejumlah kecurangan maupun pelanggaran hingga membuat calegnya dirugikan.
Herman mengatakan, kecurangan itu diduga sejak proses penghitungan di tingkat TPS dan dilanjutkan hingga tingkat PPK. Indikasi kecurangan di antaranya terjadi di TPS 7 Dukuh Jatirejo, Desa Karangrejo, Kecamatan Kerjo, Karanganyar.
Kemudian di TPS 11 Alastuwo, Kecamatan Kebakrakramat. Di mana caleg yang hanya mendapatkan 2 suara tiba-tiba berubah menjadi 92 suara. Sedangkan Wihaji yang sebenarnya mendapatkan 33 suara malah hilang tinggal menjadi 3 suara.
“Sehingga dengan sejumlah temuan pelanggaran itu kami menolak hasil pleno KPU Dapil IV dan meminta pleno ulang,” tegas Herman.
Sebaliknya, saksi Caleg Partai Golkar Hajriyanto sendiri dengan tegas mengatakan kalau suara wakilnya yang hilang dicuri caleg yang berada di bawahnya. Merekapun sepakat melakukan penolakan menandatangani hasil rapat pleno KPU, sebelum hilangnya suara Hajriyanto menjadi jelas.
Anggota tim sukses caleg Partai Golkar daerah pemilihan IV Jateng, Hajriyanto Y Thohari, Sunaryo, mengatakan pihaknya menemukan indikasi penggelembungan suara di TPS 1 Desa Mlopoharjo, Kecamatan Wuryantoro.
Indikasi penggelembungan suara tersebut berupa pengurangan maupun penambahan suara caleg partai berlambang pohon beringin tersebut.
“Ada indikasi penggelembungan suara dari satu caleg ke caleg lainnya. Kami menghitung suara sesuai formulir C1 di tingkat TPS,” ujarnya saat kepada wartawan belum lama ini.
Sunaryo membeberkan jumlah rekapitulasi perolehan suara caleg Partai Golkar berbeda dengan hasil rekapitulasi penghitungan tim sukses. Berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat PPS, caleg Wihaji meraih 93 suara, Hajriyanto sebanyak 29 suara.
Sementara hasil rekapitulasi tim sukses, caleg Hajriyanto meraup 29 suara, Wihaji meraup 64 suara. Artinya, suara Wihaji digelembungkan 29 suara sementara suara caleg lainnya selain suara Hajriyanto dikurangi hingga 29 suara.
Saat dikonfirmasi Hajriyanto mengaku terkejut bila dirinya dianggap menggembosi suara caleg di bawahnya. Menurut Hajriyanto, bila dirinya mengambil suara seperti yang dialamatkan, sudah pasti akan melenggang ke Senayan.
Dalam pelaporan Panwaslu Karanganyar, terjadi selisih suara di 17 Kecamatan di Kabupaten Karanganyar. Seperti di Kecamatan Jaten tepatnya di Desa Dagen, Jaten, Karanganyar, selisih suara antara Hajriyanto dan dua caleg dibawahnya 8 suara untuk keunggulan Hajriyanto. Sedangkan di Desa Jati, Jaten, selisihnya hanya 1 suara.
Selisih cukup banyak di antara caleg Golkar ini terjadi di 10 Desa di Kecamatan Tasikmadu. Di Desa Papahan, terjadi selisih 3 suara, Desa Gaum 4 suara, Suruh 1 suara, Pandeyan 2 suara, Karangmojo 4 suara, Wonolopo 1 suara.
"Lucu kalau saya dicap begitu. C1 tak punya, dan saya pun sudah tak tahu lagi berapa perolehan suara saya. Sudah kalah, masih saja dituduh, tapi biarkan sajalah," pungkasnya.
(Kemas Irawan Nurrachman)