Tiap gempa besar melanda, masyarakat Simeulue akan naik ke gunung karena mereka sadar lindu (gempa dalam bahasa Simeulu) yang kuat bisa menimbulkan air laut naik ke darat.
Aceh sendiri memiliki riwayat serupa, karena tsunami dalam bahasa Aceh dikenal dengan "ie beuna". Sayangnya, pelajaran "ie beuna" dulu tak diajarkan kepada generasi selanjutnya. Tak heran ketika dilanda tsunami 2004, banyak masyarakat tak tahu menyelamatkan diri setelah gempa besar. Sebagian orang justru ada menuju pantai untuk memungut ikan yang mengelepar di tengah surutnya air laut.
Tak heran pula saat baru-baru tsunami, banyak yang tak paham nama peristiwa air laut naik ke darat, sebelum media memperkenalkan kata tsunami yang sebenarnya diambil dari bahasa Jepang.
Ketua Forum Jurnalis Aceh Peduli Bencana (FJAPB) Fakhrurradzie Gade mengatakan, sebenarnya dalam manuskrip-manuskrip kuno Aceh, peristiwa "ie beuna" diceritakan. “Sayangnya, ini tidak diajari kepada generasi kita. Kitab-kitab kuno itu perlu dikaji lagi karena ilmu kebencanaan sebenarnya ada di situ,” ujarnya.
Pihaknya mendorong pemerintah, termasuk masyarakat, mempelajari tentang bencana, sehingga timbul kesiapsiagaan sekaligus mempersiapkan generasi mendatang sadar bencana.
Jurnalis, kata dia, selama ini sudah menjalankan tugas dengan baik dalam mengampanyekan mitigasi atau pengurangan risiko bencana. “Tinggal pemerintah bagaimana membangun sinergitas dalam menghadapi bencana,” sebut wartawan acehkita.com ini.