Kamuflase
Permintaan itu didasarkan karena di Pangkalan Panasan, belum satu pun memiliki alutsista pesawat. Tentu permintaan rekan seperjuangan itu diiyakan Lettu Hanandjoeddin, kendati pastinya kelak akan jadi persoalan dengan TKR Divisi VIII yang menaungi teritorial Jawa Timur, termasuk Pangkalan Bugis di Malang.
“Boleh juga. Kami siapkan dulu pesawatnya. Bung Jono bawa saja batiknya ke mari,” jawab Anan, sapaan Hanandjoeddin yang kemudian, menginstruksikan beberapa anak buahnya menyiapkan sebuah Pesawat Tachikawa Ki-55 “Cukiu” yang siap terbang.
Deal (kesepakatan) itu pun dipenuhi dua pihak secara resmi pada 5 Maret 1946, di mana saat Letnan Soejono kembali ke Pangkalan Bugis dari Solo, sejumlah besar bahan kain dibawanya untuk ditukarkan dengan Pesawat Cukiu bernomor registrasi TK-007 yang sudah dijanjikan.
Lettu Anan merasa barter seperti ini merupakan solusi terbaik demi membantu sejawatnya itu. Apalagi dua pihak sama-sama diuntungkan. Bukan main girangnya para tentara teknik udara yang kebagian jatah kain batik berwarna coklat kehitaman dan bermotif “lowo” atau kelelawar itu.
Dua kompi pasukan di Pangkalan Bugis yang kebagian jatah itu pun sepakat menjahit bahan batik itu jadi baju seragam. Mereka pun turut dalam pengiriman gelombang kedua ke front Surabaya bersama para gerilyawan lainnya, untuk menghadang sekutu di sekitar Kota Surabaya.
Jelas kedatangan bala bantuan para pasukan TKR Oedara itu jadi mengundang perhatian para pejuang lainnya di front Surabaya. Mereka pun acap dijuluki “Pasukan Lowo” atau Pasukan Kelelawar, lantaran baju batik mereka yang bermotif hewan pengerat bersayap tersebut.