NEW YORK – Selama 15 tahun terakhir, bayangan gedung World Trade Center (WTC) yang meledak di dalam tayangan televisi yang ditontonnya terus terngiang dalam benak Christina Rancke. Saat itu usianya 11 tahun. Dia adalah sulung dari tiga bersaudara.
Peristiwa itu takkan pernah lekang dari ingatannya karena dia merasakan kehilangan mendalam pada saat kejadian. Bukan sehari dua hari, tetapi berbulan-bulan dan bertahun-tahun lamanya perasaan itu menetap.
Pria yang paling dia cintai pergi untuk selamanya pada 11 September 2001. Meskipun jasadnya tidak pernah ditemukan, Christina tahu ayahnya tidak sendirian. Dia pergi bersama lebih dari 2.900 korban tewas lainnya.
“Hari itu, saya kehilangan sahabat terbaik saya,” ujarnya dalam sebuah artikel di Telegraph, Minggu (11/9/2016).
Christina pertama kali mengetahui adanya serangan ke tempat kerja ayahnya saat dipanggil pulang dari sekolah. Sesampainya di rumah, sanak keluarga ayahnya sudah berkerumun di depan televisi. Di sanalah dia melihat api menyala-nyala di gedung pencakar langit. Sebuah pesawat menghantam tepat di lantai atas menara selatan, tempat ayahnya biasa bekerja. Dia pernah sekali diajak ke sana, merasakan betapa gila ketinggian di atas sana.
Sebagai anak tertua, dia sudah mengerti kesedihan yang meliputi keluarga besarnya saat itu. Hatinya ikut hancur manakala melihat ibunya menangis setiap hari.
Selama beberapa hari, ia menunggu kabar tentang ayahnya. Mencari dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain di sepanjang Big Apple. Mereka tentu ingin memberi pemakaman yang layak bagi pria paling berkesan itu. Hari berlalu, demikian juga pekan-pekan yang tak terjawab.
Selepas tiga-empat bulan, mereka harus menerima kenyataan bahwa sang kepala keluarga telah kembali ke asalnya. Christina tidak siap, tetapi dia harus kuat. Setidaknya di depan adik laki-laki dan perempuannya.
“Saya tidak siap mendengar ini. Terutama setelah segala sesuatu yang keluarga saya lalui. Butuh beberapa hari bagi saya untuk mengerti bahwa ini benar-benar terjadi. Saya tidak mau kehilangan dia,” ujarnya.
Christina tentu bukan satu-satunya yang mengalami trauma batin ini. Namun, setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk melanjutkan hidup.
“Awalnya, saya membiarkan kesedihan menyelubungi saya. Lalu saya sadar bahwa orang-orang juga merasakannya dan ini adalah bagian dari hidup saya. Mulai dari situ, saya meredamnya. Baru ketika beranjak dewasa, saya sadar bahwa saya bisa melakukan sesuatu dan berkontribusi positif keluar dari tragedi ini,” cetusnya.
Kini, perempuan yang berprofesi sebagai investor perusahaan modal ventura itu bergabung dalam Project Rebirth. Komunitas yang berisi orang-orang yang terdampak serangan 9/11 belajar untuk bertahan melalui tragedi tersebut.
Beberapa tahun kemudian, ibu Christina menikah lagi. Momen ini menjadi ujian kedua baginya, karena dia tidak terlalu suka dengan ayah tirinya. Namun dia bersyukur, sekarang hubungan mereka sudah lebih baik. Meski punya ayah baru, dia menegaskan takkan pernah lupa pada ayah kandungnya.
“Bahkan setelah 15 tahun berlalu sejak 9/11, saya masih memikirkan ayah saya setiap hari. Bagaimana bisa saya melupakannya?” tegas Christina.
(Silviana Dharma)