JAKARTA - Terbongkarnya kasus Benjina menguak sisi gelap Indonesia. Tanah Air tidak luput dari praktik perdagangan manusia. Sebagian besar dari korban adalah warga dari negara-negara Asia Tenggara, terutama Myanmar.
Praktik perdagangan manusia di Asia Tenggara menjadi kekhawatiran sendiri bagi Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR). Wakil Indonesia untuk AICHR Dinna Wisnu menyatakan bahwa upaya pemberantasan perdagangan manusia, terutama di ASEAN, tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri oleh tiap negara.
"Ini menyangkut UU di setiap negara, jadi upayanya tidak bisa terpisah-pisah, tetapi harus menyatu. Kalau tidak, para pelaku bisa bermain di tengah-tengah, memanfaatkan celah hukum. AICHR ingin semua negara ASEAN tidak lagi berjalan sendiri-sendiri, tetapi harus maju bersama," ujar Dinna Wisnu di Hotel Meridien, Jakarta Selatan, Kamis (29/9/2016).
Perempuan yang berprofesi sebagai pengajar di salah satu universitas swasta itu menekankan, pemberantasan tidak bisa dilakukan hanya dengan memidanakan para pelaku, tetapi juga harus mencari akar masalah. Sebab, membedakan pelaku dan korban perdagangan manusia cukup sulit dibedakan.
"Modus operandi beragam. Para korban tidak hanya dari pedesaan karena terhimpit kemiskinan, tetapi juga di perkotaan. Kaum terdidik biasanya terjebak lewat program magang dan beasiswa. Kejahatan ini memanfaatkan kelemahan manusia dan sistem," lanjut Dinna.
Permintaan Dinna Wisnu direspons dengan baik oleh Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Indonesia Jose Tavares. Pria berkacamata itu berjanji akan meningkatkan koordinasi dengan negara-negara Asia Tenggara. Tidak hanya itu, Jose Tavares juga akan melakukan koordinasi dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat karena sebagian besar pelaku berasal dari Luar Negeri.
(Wikanto Arungbudoyo)