Diliputi duka mendalam, Tracey bersumpah tidak akan pernah kembali ke desanya. Dia pun memutuskan pergi ke Freetown dan tinggal bersama neneknya. Di kota yang sama, dia jatuh cinta pada seorang pemuda yang lebih tua setahun darinya. Lalu hamil.
“Ketika saya tahu saya hamil, saya sangat ketakutan dan terpikir ingin kabur. Nenek saya sangat marah dan pergi menemui orangtua pacar saya dan mulai mengatai mereka. Dia bilang putra mereka akan masuk penjara atas perbuatannya pada saya. Dia terus pergi ke sana, membuat pria itu ketakutan dan menghilang. Sejak itu saya belum pernah melihatnya lagi,” tuturnya.
Menjadi orangtua tunggal bagi anaknya pada umur sebelia itu, Tracey sangat kikuk. Dia jadi sangat bergantung pada neneknya dibanding sebelumnya. Akan tetapi, sang nenek tidak mau peduli dan membuat hidupnya jadi lebih menderita.
“Nenek tidak bisa memaafkan perbuatan saya dan menjadi sangat kejam pada saya,. Dia bilang, mencari makan buat saya saja sudah susah, bagaimana dia bisa memberi makan satu mulut lagi? Dia membiarkan saya kelaparan dan mencuri pakaian saya. Karena itu saya memutuskan pergi dari rumah itu,” tambahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan bayinya, Tracey harus berupaya mati-matian membesarkan anaknya. Untunglah, ada seorang teman berbaik hati memberikannya tumpangan. Meski begitu, makanan tetap jadi masalah utama.
Selain Tracey, ada juga remaja yatim piatu yang menanggung beban untuk menjaga saudaranya yang masih kecil. Sekolah tak lagi jadi prioritas, para remaja ini harus lebih mengutamakan mencari nafkah, menggantikan peran kedua orangtua yang telah tiada. Jika ada rezeki, mereka berharap adik-adik mereka bisa mengenyam bangku pendidikan lebih tinggi dari mereka.
(Silviana Dharma)