JIKA jika masyarakat kita menyebut tentang pahlawan, mesti yang terbersit selain nama Ir Soekarno dan Mohammad Hatta adalah Panglima Besar (Pangsar) Soedirman. Namanya tidak hanya dikenal luas manusia Indonesia di berbagai pelosok, tapi juga sudah mendunia.
Enggak percaya? Coba kalau berkesempatan jalan-jalan ke Jepang, tengoklah halaman depan Kementerian Pertahanan Jepang, di mana berdiri tegak patung Pangsar Jenderal Soedirman di sana.
Patung itu sudah eksis sejak Januari 2011 sebagai “kado” persahabatan antara Indonesia dan Jepang. Hadiah dari Kementerian Pertahanan RI yang sangat disambut pemerintah Negeri Matahari Terbit, karena dianggap prajurit ksatria dan mewarisi jiwa samurai.
Pangsar Jenderal Soedirman juga jadi satu tokoh militer Indonesia yang dikagumi dan diapresiasi karena “merintis” karier militernya di salah satu lembaga bentukan Jepang dulu. Adalah Pembela Tanah Air (PETA) yang menggembleng keperwiraannya hingga kini jadi satu-satunya jenderal bintang lima di Indonesia.
Pak Dirman, begitu acap Pangsar Jenderal Soedirman disebut, juga punya kharisma dan wibawa tersendiri. Soal dua kepribadiannya ini, setidaknya bukan saat merintis karier di PETA Pak Dirman memilikinya.
Sedikitnya, kali ini penulis ingin mengorek tentang di balik kharisma Pangsar Jenderal Soedirman. Bukan soal bagaimana beliau “menghajar” sekutu lewat taktik “Supit Urang” di Ambarawa (12-15 Desember 1945) atau tentang pengangkatan jabatan jadi Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR, kini TNI) atau soal gerilyanya.