Semangat STA menelurkan karya-karya indah rupanya tidak berhenti di situ saja. Roman ‘Dian Tak Koendjoeng Padam’ selesai ditulisnya pada 1932. Lalu ‘Lajar Terkembang’ rampung pada 1937 dan ‘Anak Perawan di Sarang Penjamun’ pada 1940.
Setelah lulus dari Bandung pada 1928, STA menjadi guru di Palembang, namun hanya satu setengah tahun. Ketika Pandji Poestaka membuka lowongan redaktur, STA melamar namun sayang ia ditolak. Ia justru diterima di Balai Poestaka sebagai redaktur di bagian buku Melayu.
Pada 1929, ia menerbitkan mingguan Semangat Moeda. Takdir pindah ke Batavia pada 1930 untuk mengikuti Hoofdacte Cursus dan menjadi redaktur Pandji Poestaka, menggantikan Adinegoro yang hijrah ke Pewarta Deli di Medan. STA juga menjadi koresponden dan kolumnis Pewarta Deli dan Soera Oemoen.
Setelah ia lulus dari Hoofdacte Cursus dan lantas sekolah di Rechts Hogeschool Jakarta, pada Juli 1933, STA meluncurkan Pudjangga Baru bersama Armijn Pane (kakak Sanusi Pane) dan Amir Hamzah.
Lahirnya majalah ini menjadi penanda hidupnya kesustraan dan kebudayaan Indonesia modern. Lewat Pudjangga Baru pula, Takdir mengguncangkan sastra Indonesia dengan konsep estetika puisi modern. Ia menolak sastra lama yang usang dan membosankan. Di Pudjangga Baru, Takdir mulai terkenal dengan nama STA.
Akhir 1941, STA lulus dari Rechts Hogeschool. Setahun kemudian, Jepang menduduki Indonesia dan membentuk Komisi Bahasa Indonesia pada 20 Oktober 1942. STA duduk sebagai penulis ahli.
Pada 1943, STA mendirikan kantor bahasa yang bertugas menyusun, menentukan, serta menyeragamkan istilah-istilah ilmu yang diajarkan di sekolah. Ia juga mengadakan kursus bahasa di luar pengawasan Jepang bersama Poerbatjaraka yang mengajarkan bahasa Jawa Kuno dan HM Rasjidi pada bahasa Arab. STA sendiri mengampu bahasa Indonesia.