Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Menelusuri Lerong, Aroma Kriminalitas Berkedok Prostitusi Jalanan Medan

Wahyudi Aulia Siregar , Jurnalis-Sabtu, 18 Maret 2017 |08:19 WIB
Menelusuri Lerong, Aroma Kriminalitas Berkedok Prostitusi Jalanan Medan
Kawasan Simpang Barat, sarang prostitusi yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi (Foto: Wahyudi/Okezone)
A
A
A

MEDAN - Raut muka AS alias Teger (27) langsung berubah saat menceritakan kembali pengalamannya dirampok sejumlah preman di kawasan Simpang Barat, Jalan Gatot Subroto/KH Wahid Hasyim/Iskandar Muda, Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan, akhir September 2016 lalu.

Tarikan nafasnya terasa begitu berat, seolah masih menahan amarah dan dendam yang belum tuntas atas peristiwa memilukan itu. Maklum saja, akibat perampokan tersebut, Teger harus kehilangan ponsel baru dan uang tunai ratusan ribu rupiah dari hasil gaji pertama, di perusahaan tempatnya bekerja sampai saat ini.

“Asli, itu baru gajian. Gaji pertama pula setelah aku pindah ke perusahaan yang sekarang. Jadi setelah traktir teman-teman, bayar kos, ada lah sisa. Munculah niat untuk nakal-nakal sedikit. Tapi yang ada ujungnya menderita. Duit raib, dipukuli pula, sial kali lah pokoknya,”keluh Teger saat disambangi Okezone, barubaru ini.

Teger bercerita, pemerasan itu bermula dari keinginannya untuk memenuhi hasrat seksualnya melalui jasa pekerja seks komersial (PSK) yang memang banyak mangkal di kawasan Simpang Barat. Setibanya di kawasan yang identik dengan “Segitiga Emas Prostitusi” Kota Medan itu, Teger langsung tertarik dengan seorang perempuan muda berkulit putih dan bertubuh mungil yang duduk dengan pakaian serba mininya di depan salah satu hotel melati di kawasan tersebut.

“Waktu kenalan namanya Windi, anaknya imut-imut. Begitu deal harga, langsung angkut ke kamar hotel di belakang tempat dia mangkal,”kata Teger.

Sesampainya di kamar, Teger yang hasratnya sudah diubun-ubun langsung memberikan bayaran sesuai harga yang sudah disepakati dengan Windi. “Aku mau cepat aja, langsung kukasih dia uang Rp500 ribu untuk dua kali main. Tapi begitu dia mau kupeluk dan kusuruh buka baju, dia malah menolak. Dia menyuruh aku bersih-bersih dulu di kamar mandi. Saat aku di kamar mandi dia buka pintu kamar, alasan mau beli kondom dari petugas hotel,” ujarnya.

Karena masih mendengar suara Windi dari balik dinding kamar, Teger tak menaruh curiga. Tapi belakangan ia sadar Windi telah menipunya, karena Windi tak kunjung kembali setelah sekitar 10 menit keluar dari kamar yang mereka sewa.

“Karena dia sudah kelamaan perginya, dan suaranya sudah enggak terdengar, akhirnya aku pakai baju lagi dan mencari dia. Waktu aku keluar hotel, aku lihat dia sama beberapa laki-laki di pinggir jalan. Dia di atas becak (betor). Terus aku datangi,” sebutnya.

Langkah Teger mendatangi Windi, ternyata menjadi awal petaka itu. Windi yang sadar dengan keberadaan Teger langsung bersembunyi dibalik badan seorang pria kekar yang belakangan mengaku sebagai pacarnya.

“Aku awalnya mau marah karena mentah-mentah ditipunya. Tapi karena dia sama banyak laki-laki malah aku yang dituduh enggak bayar dia sesuai perjanjian. Dia pula lebih lantam dari aku. Sempat adu mulut kami. Tapi belakangan salah satu laki-laki yang bersama dia (Windi) memukul muka ku. Aku langsung tersungkur. Belakangan laki-laki itu mengaku pacar si Windi, dia lalu mengambil dompetku dan pergi sama si Windi,” ujar Teger.

“Habis dipukuli aku mau telefon kawan minta tolong. Tapi rupanya handphone ku pun sudah enggak ada di kantong. Rupanya waktu di kamar, si Windi mengambil handphone ku juga. handphone itu baru kubeli juga,” tambahnya.

Karena sudah tak berdaya, Teger pun memutuskan untuk mengambil sepeda motornya yang tertinggal di hotel, dan kemudian menemui teman-temannya untuk meminta pertolongan.

“Kawan-kawan enggak berani karena disitu memang banyak preman. Mereka malah menyuruh aku melapor ke Polisi. Tapi aku enggak mau lah. Malu. Aku baru kerja, nanti kalau ada namaku di Koran atau dipanggil Polisi kan repot. Jadi ya kuikhlaskan aja. Hitung-hitung sedekah dan nambah pengalaman,” ujarnya menutup perbincangan.

Bermodal keterangan Teger, Okezone pun melakukan penelusuran ke Kawasan Simpang Barat. Di sana, puluhan perempuan muda berpakaian serba ketat sangat mudah ditemukan tengah menjajakan diri. Beberapa diantara mereka juga terlihat menyendiri, namun ada juga yang berkumpul sambil berbincang-bincang. Ada yang sambil merokok, ada juga yang hanya terduduk di atas sepeda motor sambil melempar senyum dan rayuan terhadap setiap pria yang melirik mereka.

“Cewek Say ?,” sapa salah seorang dari perempuan itu.

Setelah beberapa kali mondar-mandir, Okezone kemudian memberanikan diri untuk menegur salah satu diantara PSK yang terlihat sendiri. Siska namanya. Janda beranak satu berusia 29 tahun itu, mengaku sudah tujuh tahun menjadi PSK dan selalu mangkal di Kawasan Simpang Barat.

“Dulu aku dijual pacar ke kawannya, belakangan aku jualan sendiri. Duitnya lumayan,” kata perempuan berdarah Sunda-Tionghoa itu.

Dari Siska pula, saya mendapatkan istilah baru. Istilah yang dikenal dikalangan para PSK untuk kejadian seperti yang dialami Teger.

“Oh itu namanya dia kena Lerong. Udah biasa disini, kalau pelanggan yang agak-agak culun selalu jadi korban itu. Ada yang cuma ditipu dan enggak jadi main, ada yang dimintai uang terus menerus, ada yang barangnya dicuri, ada juga yang dipukuli dan barang-barangnya dirampas. Kawan abang itu pas kena sialnya aja itu,” tuturnya.

Siska mengaku tak semua PSK di Simpang Barat melakukan Lerong. Namun ia tak menuding telah banyak yang menjadi korban atas perbuatan tersebut.

“Banyak memang, bisa dibilang hampir setengah-setengah lah antara yang Lerong dan enggak. Biasanya yang Lerong itu yang masih muda-muda. Karena banyak pelanggan mereka bertingkah. Tapi akibat perbuatan mereka itu, kita yang susah. Pelanggan jadi takut dan jumlahnya jauh berkurang. Dulu aku bisa dapat 5-6 orang pelanggan semalam. Apalagi kalau malam minggu bisa sampai 10 orang. Tapi sekarang, udah mangkal berjam-jam, kadang-kadang malah enggak buka dasar sampai pagi,” keluhnya.

Siska pun membantu saya mengidentifikasi para PSK yang kerap melakukan Lerong. Menurut Siska, para PSK pelaku Lerong biasanya mangkal secara beramai-ramai tak jauh dari hotel tempat mereka akan melayani pria hidung belang pengguna jasa sekaligus korbannya. Di hotel itu pula biasanya banyak pemuda berkumpul. Pemuda-pemuda itu adalah beking para PSK Lerong tersebut.

“Paling banyak memang yang di Jalan Wahid Hasyim ini. Dan mereka cuma mau main di hotel yang ada di jalan itu juga. Kalau di Jalan Gatot Subroto ada juga, tapi karena disitu PSK-nya sudah banyak yang berumur, jadi enggak banyak korban. Kalau di sini (Wahid Hasyim) ada saja kejadian tiap malam ribut-ribut karena jadi korban Lerong,” jelasnya.

Siska mengatakan, keberanian para PSK melakukan aksi lerong bukan datang dengan sendirinya. Selain karena telah bekerjasama dengan para anggota ormas kepemudaan alias preman yang membekingi mereka, biasanya PSK pelaku Lerong sudah berada di bawah pengaruh narkoba.

“Rata-rata karena udah nyabu (memakai sabu) makanya berani Lerong. Uang hasil Lerong juga untuk beli sabu-sabu. Preman-preman itu juga udah narkobaan. Kadang-kadang mereka pakai narkoba sama-sama. Di luar Lerong itu, preman-preman itu mengutip biaya Rp15 Ribu-Rp50 Ribu untuk setiap PSK yang mendapatkan pelanggan. Biasanya kami langsung didatangi begitu keluar dari hotel,” jelas Siska.

Siska sendiri tak pernah berani melakukan lerong. Bukan karena tak ada kesempatan, namun ia trauma karena salah seorang rekannya pernah dihajar hingga babak belur akibat melakukan Lerong.

“Kalau aku enggak berani gitu. Aku punya anak. Kalau aku gimana-gimana, anakku siapa yang rawat. Dulu pernah kawan ku Lerong sama tentara. Memang malam itu lepas dia. Tapi beberapa hari kemudian, dia diculik terus dipukuli dan kakinya dipatahin. Dia juga diancam akan dibunuh kalau melapor ke Polisi. Semua cewek disini tahu kejadian itu. Waktu itu semua berhenti Lerong, tapi ya belakangan balik lagi,” tukasnya.

Mak Sarah, salah seorang warga yang membuka warung di Jalan Wahid Hasyim Medan, tahu betul perihal aksi Lerong ini. Ia mengaku banyak pihak yang terlibat dan diuntungkan dengan aksi kriminal tersebut, mulai dari preman, polisi hingga pedagang biasa sepertinya.

“Kalau namanye Lerong saya baru tahu ini. Tapi kalau seperti yang kamu ceritakan itu memang sering. Hampir tiap malam ada aja kejadiannya itu. Orang sini pada tahu lah. Kadang-kadang pun mereka sembunyi di sini kalau dikejar-kejar tamunya. Cuma orangnya beda-beda. Beberapa kali sampai pukul-pukulan juga. Polisi tahu lah, tapi enggak tahu apa diproses apa enggak,” katanya.

“Kalau saya sih selagi mereka tidak merugikan kita ya terserah saja. Tapi memang kita ikut menikmati keberadaan mereka di sini. Kita makan duit mereka juga kalau belanja. Apalagi pemuda-pemuda setempat di sini. Khususnya yang ikut organisasi kepemudaan, sudah pasti lah terlibat,” tukasnya.

Berbeda dengan Mak Sarah, Kapolsekta Medan Baru, Kompol Ronni Bonic, selaku pemilik wilayah hukum di kawasan Simpang Barat, mengaku tak pernah mendengar kata “Lerong”. Namun ia tak menampik jika keberadaan aksi Lerong itu.

“Kita mengimbau lah kepada korban untuk melapor. Tanpa laporan dari korbannya kita enggak bisa melakukan penindakan. Sejauh ini belum ada yang melapor. Mungkin karena mereka malu. Kalau memang ada korbannya, tolong melapor ke kita. Identitasnya akan kita rahasiakan,” sebut Ronni.

Ronni pun menolak jika dikatakan melakukan pembiaran. Termasuk adanya keterlibatan anggotanya dalam pembiaran aksi tersebut.

“Enggak lah. Kita pada dasarnya kalau ada laporan, pasti langsung kita tindak. Kalau ada anggota yang terlibat kita hukum. Kan ada prosedurnya,” tegas Ronni.

Terpisah, Sosiolog Rizki Ary, mengatakan, Lerong bukanlah fenomena baru. Aksi serupa sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Namun bedanya, aksi tipu-tipu dan pemerasan oleh PSK itu dulunya dilakukan secara tertutup dan di tempat terisolir.

“Kalau sekarang PSK jalanan yang melakukannya. Mereka sudah berani, karena kalau kepergok tinggal SMS atau telefon bekingnya. Lalu datang mengeroyok korban ramai-ramai. Pada prinsipnya sama hanya namanya yang berbeda. Tapi memang ini cukup mengkhawatirkan karena perbuatan itu melibatkan banyak orang,” jelasnya.

Terlibatnya banyak orang dalam satu wilayah dalam aksi kriminalitas seperti Lerong itu, kata Rizki, berpeluang menciptakan terwujudnya kejahatan komunal yang akan semakin sulit di atasi. Sehingga Polisi diminta tak bermain-main membiarkan kasus tersebut.

“Kalau ini dibiarkan terus-menerus, Medan enggak lama lagi akan punya tempat seperti Kali Jodo itu. Di mana tindak kejahatan berlangsung secara komunal. Intinya penegakkan hukum di kawasan itu. Karena kalau tidak, anak-anak di kawasan itu yang akan menjadi korban kejahatan komunal tersebut,” jelasnya.

Hal senada juga dikatakan, Psikolog, Irna Minauli. Menurutnya penegakkan hukum atas aksi Lerong harus segera dilakukan. Penegakkan hukum penting untuk mencegah meluasnya dampak Lerong terhadap kecenderungan perilaku kriminal warga.

“Para PSK itu kan terbiasa melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Mereka yang terbiasa melanggar aturan atau norma sosial cenderung lebih mudah melakukan tindak kriminal lain. Apalagi jika terjadi kondisi saling menguntungkan antara PSK dengan pelaku kriminal lain. Tindakan yang awalnya hanya Lerong itu bisa menjadi kejahatan komunal,” kata Minauli

Minauli menyebutkan, kecenderungan para pelanggar norma untuk lebih mudah melakukan tindak kriminal lain disebabkan karena para pelanggar norma seringkali memiliki standar norma yang lebih longgar dan fleksibel. Sehingga segala sesuatu cenderung disesuaikan dengan kerangka berpikirnya sendiri.

“Mereka cenderung memiliki sistem keyakinan (belief system) yang berbeda dengan kebanyakan orang dan sering terjadi distorsi dalam cara berpikirnya,” kata Minauli.

Minauli menjelaskan, ketika seseorang masuk dalam suatu komunitas yang melakukan pelanggaran maka mereka juga akan berkumpul dengan para pelanggar norma lainnya. Para pelanggar norma umum lebih menuruti dorongan hatinya dan kurang mampu menunda untuk mendapatkan kepuasan. Mereka cenderung ingin segera memuaskan hasratnya, seringkali tanpa mempedulikan apakah hal itu melanggar aturan atau tidak.

“Menurut ahli psikoanalisis, kurangnya peranan superego dalam kehidupan mereka membuat para pelanggar cenderung hanya menuruti id atau dorongan primitif mereka. Fungsi ego sebagai penyeimbang seringkali agak lemah. Ini yang harus dicegah agar tak meluas di kawasan itu,” terangnya.

“Di satu sisi sebenarnya ada manfaat juga kalau terdapat asosiasi antara prostitusi dan kriminalitas sehingga orang akan enggan datang ke tempat tersebut. Umumnya kan para penikmat layanan prostitusi akan mencari tempat yang aman sehingga mereka akan senang untuk terus berkunjung. Kalau sudah tak aman mereka pasti akan pergi. Tapi yang paling penting sebenarnya bagaimana memberantas setiap lokasi-lokasi pelacuran itu,” tutupnya.

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement