Kondisi di pemerintahan juga tak kalah kacau. Pasca-Kabinet Perdana Menteri Amir Syarifuddin jatuh dan diganti Mohammad Hatta, pergolakan di arus bawah hingga tataran elite tetap saja terjadi.
Terlebih ketika Hatta menerapkan kebijakan re-ra atau reorganisasi dan rasionalisasi di berbagai perangkat pemerintahan, termasuk golongan tentara. Tak sedikit yang menolak pangkatnya diturunkan akibat re-ra.
Oleh karenanya demi membuat sejumlah kelompok partai dan lembaga lain bisa ‘ngguyub’ dan bersatu lagi, dicetuskanlah satu hari peringatan yang mengambil hari lahir Boedi Oetomo, yakni 20 Mei. Kala itu momennya belum dinamakan Hari Kebangkitan Nasional, melainkan Hari Kebangunan Nasional.
“Hari itu (20 Mei) menurut beliau (Presiden Soekarno) adalah hari yang patut dianggap mulia oleh bangsa Indonesia,” ungkap Ki Hadjar Dewantara dalam buku ‘Dari Kebangunan Nasional sampai Proklamasi Kemerdekaan: Kenang-kenangan Ki Hadjar Dewantara’.
“Karena pada hari itu, perhimpunan kebangsaan yang pertama, yaitu Boedi Oetomo didirikan dengan maksud menyatukan rakyat yang dulu masih terpecah belah, agar dapat mewujudkan suatu bangsa yang besar dan kuat,” imbuhnya.
Ya, pertama kali Hari Kebangunan Nasional atau yang kita kenal sekarang sebagai Hari Kebangkitan Nasional dicetuskan, sebagaimana yang disebutkan Ki Hadjar Dewantara, adalah atas inisiatif Bung Karno. Digelar pertama kali pada 20 Mei 1948 di Yogyakarta sebagai ibu kota republik kala itu serta di berbagai daerah lain.