 
                JAKARTA – Masjid Teungku di Anjong kokoh berdiri di lembah Krueng (Sungai) Aceh, Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh. Di balik arsitekturnya yang masih kental dengan nuansa tradisional, masjid ini menyimpan sejarah panjang yang unik dan heroik.
Masjid Teungku di Anjong pernah lenyap disapu tsunami pada 24 Desember 2004. Namun, dibangun kembali dengan konstruksi beton untuk tempat beribadah sekaligus simbol perjuangan rakyat Aceh yang tak lekang zaman.
Masjid Teungku di Anjong merupakan salah satu masjid tertua di Banda Aceh. Sebuah riwayat menyebutkan, masjid itu dibangun pada 1769 oleh Sayyid Abubakar bin Husaien Bilfaqih, ulama besar asal Hadramaut, Yaman. Ia mengembara ke Asia Tenggara dan menetap di Aceh, mensyiarkankan Islam.
Semasa Sultan Alaudin Mahmudsyah (1760-1781) memimpin Kerajaan Aceh Darussalam, Sayyid Abubakar dijuluki oleh masyarakat Aceh sebagai Tengku di Anjong. Dari mana nama ini bermula?
Ada yang menyebut nama Anjong berasal dari kata sanjungan yang di Aceh-kan. Ya, ia sering disanjung dan sangat dimuliakan oleh masyarakat, sebab memiliki akhlak yang baik dan alim. Versi lain adalah Tengku di Anjong berasal dari kata anjungan rumah.
Menurut cerita warga sekitar, Sayyid Abubakar sempat tinggal di anjungan rumah mertuanya setelah menikahi anak seorang ulu balang di Ulee Kareng, Banda Aceh.
Sebuah catatan menyebutkan, Sayyid Abubakar hijrah ke Aceh pada 1642 M (lainnya menyebut 1742). Dia diutus dari Yaman ke Asia Tenggara untuk menyebar Islam. Pada saat bersamaan, dua ulama seangkatannya juga ditugaskan untuk mengembara ke India dan Mesir.