 
                Model kubahnya tetap seperti sediakala, berbentuk persegi mengerucut dengan tiga lantai, khas masjid-masjid kuno di Aceh. Ini diyakini sebagai simbol keagungan Islam. Lantai pertama merupakan hakikat, disusul tarikat, kemudian makrifat.
Di sisi masjid terdapat makam Tengku di Anjong yang sudah dipugar, bersebelahan dengan makam istri keduanya asal Yaman, Syarifah Fathimah binti Sayid Abdurrahman Al Aidid atau dikenal dengan nama Aja Eusturi. Di sekeliling masjid juga banyak terdapat makam pengikutnya.
Nama Teungku di Anjong kini masih agung di kalangan masyarakat Aceh, tak terkecuali di negeri asalnya, Yaman. Peziarah silih berganti berdatangan, berdoa dan melepas nazar di makam tersebut.
Bahkan warga masih rutin mengadakan kenduri thon atau kenduri mengenang kematian Teungku di Anjong setiap 14 Ramadhan di kompleks makamnya. Kenduri dilakukan dengan berdoa, berzikir, serta makan bersama. Uniknya dalam kenduri ini warga ikut menyediakan apam (serabi) untuk disantap bersama.
Tengku di Anjong meninggalkan beberapa kitab karangannya, salah satunya dikenal dengan nama Kitab Lapan, kitab berbahasa Melayu Arab (Jawi) kumpulan delapan ilmu, termasuk fikah, tasawuf, dan lainnya. Kitab ini masih dipelajari oleh warga Aceh di kampung-kampung.
Masjid Teungku di Anjong berdiri megah di lembah Krueng Aceh. Di balik kisah panjang dan bangunan bernuansa tradisional. Sayang, tak ada benda-benda peninggalan ulama besar itu lagi yang bisa didapati di masjid tersebut.
(Salman Mardira)