 
                Setelah Teungku di Anjong meninggal dunia pada 14 Ramadan 1100 Hijriah atau sekira Tahun 1782 Masehi, tak ada catatan siapa yang melanjutkan roda kepemimpinan masjid dan dayah tersebut. Namun, aktivitas belajar mengajar diyakini tetap berjalan.
Ketika militer Belanda mengagresi Aceh mulai 1873, Dayah Teungku di Anjong dijadikan basis pejuang Aceh. Mereka mengatur kekuatan, strategi serangan, dan mengobarkan semangat perang sabil bersama para santri dari sana.
Setelah Indonesia merdeka, masjid ini sempat beberapa kali direnovasi, namun arsitekturnya tak diubah. Aktivitas pesantren sendiri diyakini berhenti sekira tahun 1980-an.
Saat tsunami menerjang Aceh akhir 2004, Masjid Teungku di Anjong rata dengan tanah. Tinggi gelombang di sini mencapai 4,5 meter, seperti tertera pada tugu samping masjid. Barang-barang peninggalan Teungku di Anjong seperti kitab-kitab kuno, keramik, guci kuno dan lainnya raib dilumat arus.
Makam Teungku di Anjong (Salman Mardira/Okezone)
Usai musibah, masjid itu kembali dibangun dengan bantuan Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias. Arsitekturnya tetap mengikuti gaya lama. Hanya saja seluruh dindingnya sudah beton.