Evakuasi Dinilai Diskriminatif
Evakuasi terhadap 4.000 orang warga Rakhine di luar Muslim Rohingya terkesan diskriminatif. Pemerintah Myanmar seakan membiarkan begitu saja terkepung di antara pertempuran kedua pihak. Seorang saksi mata menuturkan, tentara membakar rumah-rumah warga untuk mendesak kelompok militan keluar dari persembunyian.
(Asap membumbung tinggi dari salah satu wilayah di Rakhine. Foto: AFP)
“Di sebelah barat dari sini apa yang saya lihat hanya asap. Desa dibakar habis, pasar-pasar ditutup, dan warga desa takut keluar rumah karena tentara bisa berlaku kejam sementara persediaan makanan mulai habis. Saya bisa mendengar tangisan anak tetangga,” urai seorang Muslim Rohingya yang minta namanya dirahasiakan, mengutip dari Time, Kamis (31/8/2017).
Dituding Berkolusi dengan Militan, Organisasi Kemanusiaan Tarik Staf dari Rakhine
Kondisi semakin parah usai pemerintah menuding para sukarelawan kemanusiaan berkolusi dengan militan ARSA. Mereka berpendapat, sejumlah biskuit dari World Food Program (WFP) ditemukan di salah satu tempat yang dicurigai sebagai pelatihan militan.
Tuduhan senada dilontarkan Penasihat Keamanan Nasional Myanmar, Thaung Tun. Ia mengatakan, ammonia dan pipa yang digunakan oleh pekerja pembangunan, dipakai untuk membuat bom oleh militan ARSA. WFP dan sejumlah badan kemanusiaan meminta Myanmar membuktikan bukti sehingga bisa dilacak.
Akibat tuduhan tersebut, sebagian besar organisasi kemanusiaan menarik staf mereka dari Rakhine. Selain tuduhan, meningkatnya kekerasan juga menjadi alasan penarikan mundur para staf tersebut.
“Di jalan keluar dari Maungdaw ke Buthidaung, dan bahkan di atas perahu, kami melihat desa-desa terbakar dan helikopter militer berpatroli. Padahal, badan kemanusiaan sedang memberikan bantuan bagi mereka yang membutuhkan. Sangat memalukan,” ucap seorang sukarelawan asing.