JAKARTA – Hari ini 13 tahun lalu, Indonesia kehilangan seorang putra terbaiknya; Munir Said Thalib. Pejuang hak asasi manusia (HAM) yang vokal menentang penindasan itu meninggal dunia dibunuh dengan racun di atas Pesawat Garuda Indonesia, pada 7 September 2004.
Munir saat itu menumpangi Garuda Indonesia nomor penerbangan GA-974 menuju Amsterdam, Belanda. Ia merenggang nyawa dalam usia 38 tahun, usai menenggak minuman yang sudah dicampur racun.
Kematian Munir menyorot perhatian dunia. Sayangnya, lebih satu dasawarsa berlalu, motif dan dalangnya tak terungkap.
Munir diduga dibunuh karena memegang data-data penting pelanggaran HAM berat hingga kampanye hitam pemilu 2004 yang akan dibawanya ke Belanda. Munir memang terkenal sebagai aktivis yang konsisten memperjuangkan HAM, berani bersuara lantang menentang penindasan oleh penguasa.
Meski desakannya dari berbagai elemen, negara belum sepenuhnya serius menuntaskan kasus Munir. Pengadilan yang telah digelar seolah belum bisa mengungkap awan tebal yang melingkupi kasus ini. Siapa yang paling bertanggungjawab atas kematian Munir masih teka-teki.
Pollycarpus Budihari Prijanto, pilot Garuda Indonesia yang ditumpangi Munir, sudah divonis 14 tahun penjara karena menjadi fasilitator pembunuhan Munir. Itu pun ia tak menjalani hukuman sepenuhnya. Pollycarpus justru memperoleh pembebasan bersyarat dan keluar dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, pada Sabtu 29 November 2014.