DELANEY Colaio baru berusia 3 tahun pada 11 September 2001. Ibunya sedang menyiapkan Delaney untuk pergi ke kelas balet pagi itu; ayahnya sudah berangkat dari apartemen merkea di TriBeCa menuju tempat kerjanya di lantai 104 menara utara World Trade Center (WTC), New York.
Ketika telefon berdering di rumahnya pagi itu, ibunda Delaney langsung menyalakan televisi untuk melihat berita.
“Saya ingat melihat ibu menangis, melihat kedua menara di televisi dan melihat api. Itu semua yang dapat saya ingat," ujar Delaney, seperti disitat dari New York Times, Senin (11/9/2017).
Ayah Delaney, Mark Colaio, beserta dua pamannya, Stephen Colaio dan Thomas Pedicini, menghilang hari itu.
Meski Delaney mendapat cerita tentang tragedi tersebut sejak masih kecil, ia baru dapat memahaminya pada usia 12-13 tahun. Banyak peristiwa penting dalam hidup Delaney seperti hari ulang tahun, kelulusan sekolah dan peringatan tragedi 9/11 telah menjadi momen-momen yang amat sulit bagi Delaney. Kini di usia 18 tahun, Delaney telah menjadi mahasiswi jurusan perfilman di Quinnipiac University.
"Saya sering bertanya, akankah saya memiliki tawa atau selera humor yang sama dengan ayah? Ibu mengatakan bahwa saya memilikinya, tetapi hal itu tidalah benar-benar saya ketahui," imbuh Delaney.
Awal tahun ini, Delaney mulai mengerjakan naskah dan menyutradarai filmnya yang berjudul “We Go Higher". Ini adalah film dokumenter buatan dan tentang anak-anak yang kehilangan orangtua mereka pada tragedi 9/11. a documentary by and about children who lost parents on Sept. 11.
"Kami berkomitmen untuk memfilmkan setiap anak 9/11 yang bersedia difilmkan," tutur Delaney.
Sejauh ini Delaney dan timnya telah mewawancarai 70 dari sekira 3.000 anak yang kehilangan orangtua pada tragedi itu. Kebanyakan mereka ia hubungi melalui organisasi Tuesday's Children. Partisipan dalam film Delaney berusia antara 15-52 tahun.
"Banyak di antara anak-anak itu merasa bahwa mereka membutuhkan ini (terlibat dalam film-red) sekarang. Mereka akhirnya ingin membagikan cerita dan membantu orang lain. Mereka tidak mau terus terkungkung penderitaan," kata Delaney.
Bagi Delaney, proyek ini menjadi perjalanan yang amat mengaduk-ngaduk emosi. "Apa yang sudah saya pelajari tentang diri sendiri adalah bahwa tidak apa-apa untuk tidak selalu baik-baik saja sepanjang waktu. Saya tidak pernah menangis. Tetapi selama menjalani proses ini, saya menangis setiap pekan. Dan saya mempersilakan diri saya untuk merasakan semua perasaan itu. Dan itu adalah perkembangan diri teramat besar yang pernah saya rasakan," papar Delaney.
Film tersebut, imbuhnya, ditujukan bagi orang-orang yang sedang mengalami apa yang dialami para anak-anak 9/11.
"Saya amat berharap bahwa ini bisa menjadi pesan bahwa ada kehidupan setelah kedukaan. Jika sesuatu yang tragis terjadi dalam hidup Anda, itu bukan akhir segalanya. Anda memiliki kemampuan untuk terus melanjutkan dan menulis cerita sendiri," pungkas Delaney.
Film yang diproduseri oleh organisasi Women Rising itu dijadwalkan tayang perdana pada 2018.
(Rufki Ade Vinanda)