Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Perang Digital Terbuka, Ketika Pelaku Cyber Crime Lawan Balik Kebijakan Registrasi Nomor Ponsel Lewat Penyebaran Hoax

Yudhistira Dwi Putra , Jurnalis-Senin, 06 November 2017 |08:03 WIB
Perang Digital Terbuka, Ketika Pelaku <i>Cyber</i> <i>Crime</i> Lawan Balik Kebijakan Registrasi Nomor Ponsel Lewat Penyebaran Hoax
Ilustrasi (FOTO: Okezone)
A
A
A

"Itu yang (nyebar) terancam dengan registrasi ulang ini karena mempersempit celah cybercrime. Yang biasa nipu, yang biasa menyebarkan ujaran kebencian," kata Henri sebagaimana dilansir Vice.

Sebelum soal penyadapan ini, hoax lain tentang masa tenggang pendaftaran nomor ponsel juga sempat "digoreng" oleh para penyebar hoax.

BACA JUGA: Siapkah Pemerintah Lindungi Data Pribadi Masyarakat Terkait Kebijakan Daftar Ulang Nomor Ponsel?

Mereka menyebarkan kabar bahwa pendaftaran ulang nomor ponsel hanya dapat dilakukan dalam waktu satu hari, yakni 31 Oktober 2017. Kabar ini tentu bertentangan dengan kenyataan.

Sejak awal sosialisasi pemberlakuan kebijakan ini, Menteri Kominfo, Rudiantara telah menjelaskan, pemerintah memberi waktu kepada masyarakat untuk mendaftarkan ulang nomor ponsel mereka, terhitung sejak tanggal 31 Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018.

Akibat hoax tersebut, sejumlah situs resmi berbagai operator seluler ambruk hari itu, diserbu kepanikan masyarakat yang termakan hoax yang turut menyebut Kemenkominfo akan memblokir setiap nomor yang mendaftar lewat dari tanggal 31.

Bukan Penyadapan, Pencurian Data Adalah Potensi yang Lebih Nyata

Langkah pemerintah memberlakukan kebijakan ini banyak menuai respons positif sebetulnya. Selain untuk mendorong terwujudnya visi pemerintah soal identitas tunggal, pemerintah juga beralasan pemberlakuan kebijakan tersebut adalah upaya untuk meminimalisir praktik cyber crime yang kerap menggunakan nomor ponsel sebagai instrumen pendukung aksi.

Namun, bukan tak ada celah bagi kritik. Kebijakan tersebut tetap berpotensi menimbulkan permasalahan lain. Beberapa pihak khawatir kebijakan tersebut jadi pintu masuk bagi kejahatan lain, yakni pencurian data pribadi masyarakat.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI) mengatakan, pemerintah wajib menjamin perlindungan terhadap data pribadi masyarakat dari potensi penyalahgunaan.

"Pemerintah harus menjamin bahwa data pribadi milik konsumen tidak disalahgunakan, baik untuk kepentingan komersial dan non komersial tanpa seizin konsumen sebagai pemilik data pribadi," kata Tulus Abadi.

Beralasan memang, apalagi mengingat peristiwa pencurian data pribadi masyarakat yang terjadi di Malaysia. Tak tanggung-tanggung, data yang berhasil dicuri para peretas (hacker) mencapai 46 juta. Bahkan, pencurian tersebut digadang-gadang sebagai pencurian data pribadi pengguna ponsel terbesar di Asia.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement