Seorang penduduk asli Erfurt, Justus Friedrich Karl Hecker, menulis sebuah buku yang diterbitkan pada 1888, berjudul ‘The Black Death and the Dancing Mania’. Dalam buku itu, dia mengumpulkan banyak catatan tentang Dancing Mania, menghubungkannya dengan wabah Bubonic yang mencapai puncaknya di Eropa pada pertengahan abad ke-14.
Dalam buku tersebut, Hecker, seorang dokter, menggambarkan kegilaan menari sebagai reaksi terhadap tahun-tahun Black Death, karena epidemi wabah. Dia percaya bahwa kesulitan yang dibawa oleh penyakit ini secara tidak langsung memanifestasi dirinya dalam bentuk kegilaan kolektif. Memang benar bahwa pandemi, yang menghapus sepertiga populasi dunia, meninggalkan efek buruk pada jiwa manusia.
Gambaran Hecker tentang penyakit ini agak mengerikan. Mereka digambarkan membentuk lingkaran sambil bergandengan tangan. Kemudian kehilangan kendali atas indra mereka dan terus menari selama berjam-jam hingga mereka terjatuh ke tanah karena kelelahan.
Penjelasan teologis untuk kasus ini terbagi dalam tiga kategori. Pertama, orang-orang yang terkena wabah menari berada di bawah kendali iblis. Kedua, mereka diduga dikutuk oleh orang suci, kemungkinan St Yohanes atau St Vitus. Penjelasan ketiga menyebut tindakan ini sebagai bidah berkedok kegilaan guna mempraktikkan ritual suci tanpa terganggu.
Terlepas dari seluruh dugaan tersebut, penggunaan halusinogen juga dianggap sebagai penjelasan yang potensial oleh para ahli.
Hal yang pasti, tindakan menari massal tanpa henti ini telah menelan banyak korban. Sebab, wabah terus menyebar ke wilayah lain, seperti Utrecht, Belanda dan Liège, Belgia. Sebuah laporan dari Metz, Prancis mengklaim bahwa 11 ribu orang telah meninggal karena menari massal.
Setelah wabah di Aachen, kasus tersebut terjadi di Strasbourg, Prancis, pada 1518.
(Wikanto Arungbudoyo)