"Dasar tindakan negara dalam melaksanakan azas presumption of quilty (azas patut diduga bersalah) yaitu adanya kebijakan berupa surat perintah penyidikan (Sprindik) kepada penyidik, maka dalam surat panggilan harus dicantumkan Sprindik tersebut. Faktanya, surat panggilan A-quo tidak ada dicantumkan Sprindik," tuturnya.
Di samping itu, Teguh menyebut surat panggilan tersebut tidak menjelaskan dugaan pasal dan UU mana yang disangkakan kepada tersangka Letkol Wisnu, baik dugaan insubordinasi maupun tindak pidana korupsi sehingga membingungkan apa pokok rumusan pidana yang sedang disidik.
"Karena rumusan delik ditentukan dalam kalimat yang rinci dan telah tercantum dalam Undang-undang," jelas dia.
Kemudian, kata dia, berdasarkan Pasal 103 Ayat (4) UU Peradilan Militer disebutkan bahwa panggilan kepada tersangka atau saksi prajurit melalui komandan/kepala kesatuan yang secara teknis dilaksanakan dengan penerbitan Sprin (surat perintah) dari Ankum.
Selain itu, dalam hukum formil ditentukan juga bila mana patut diduga terjadi suatu peristiwa pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan Militer. Maka, sesuai Pasal 89 KUHAP, Pasal 198 UU Nomor 31/2017, Pasal 16 UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Intinya, sebelum melaksanakan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga dilakukan oleh seseorang yang tunduk pada peradilan militer dan seorang lainnya tunduk pada peradilan umum. Maka, arus terlebih dahulu dibentuk Tim Peradilan Koneksitas yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.