Seorang teman WNI yang berkarir dan tinggal di Jepang merasa prihatin, sedih dan ironi ketika anaknya yang masih usia 8 tahun dididik dengan tradisi keluarganya di Indonesia dan budaya Jepang menjadi ‘paradoks’ ketika kembali ke Indonesia dan hidup dalam komunitas masyarakat modern Jakarta (dan mungkin di wilayah lain di negeri ini).
Ia mengaku, anaknya dididik dengan melihat contoh nyata tentang budaya antri, teratur, ketika ke toliet di rumah maupun di tempat umum tidak meninggalkan/keluar dari toilet kecuali dalam keadaan seperti semula. Tidak meninggalkan jejak yang menjadikan orang lain masuk berikutnya menjadi ‘jijik’. “Jadikan seakan dirimu yang akan masuk berikutnya. Keluarlah seperti ketika kamu saat masuk”. Prinsip tanggung jawab melekat sebagai karakter.
Ironinya ketika berlibur ke Jakarta, ketika sang anak diajak ke pusat perbelanjaan dan permainan disana anaknya yang berparas melayu, sama seperti kebanyakan anak-anak yang ada disana menjadi ‘terkucil’.
Ketika dia harus antre, anak-anak yang lain menyerobot. Parahnya para orang tua saling mengarahkan/mengajari buah hatinya untuk mencari jalan pintas. Pun demikian ketika pergi ke toilet. Tanpa merasa bersalah, anak-anak mengandalkan orang tua/orang lain untuk membersihkan bekas kotoran.
Rasa sayang yang salah, tapi dianggap kaprah kepada anak atau anak didik, murid, anak buah, anggota dengan memanfaatkan atau mencari privilege dengan berbagai cara ini menjadikan nilai-nilai dan prinsip kemanusiaan menjadi hilang. Inilah yang dialami bangsa kita selama sekian dekade.
Menurut teman penulis tadi, di Jepang, kemampuan kognitif berupa matematika, bahasa, dan lain sebagainya tidak menjadi prioritas pada anak usia dini. ‘Biarkan anak-anak akan tahu tentang pelajaran itu pada masanya nanti’. Namun pembentukan karakter tentang hakikat kemanusiaan, kejujuran, tanggung jawab, nasionalisme justru dibangun sejak masih bayi. Itulah sebabnya bangsa Jepang menjadi hebat, dari dulu hingga saat ini. Kalaupun terjadi pergeseran, prinsip dasarnya tetap tertanam di dalam sanubari bangsa Jepang, dimanapun dia hidup.
Berbeda dengan bangsa kita, orang tua begitu bangganya ketika usia 7 tahun sudah bisa berhitung, lancar berbahasa asing, bisa membuat vlog, dan lain sebagainya. Namun, dalam keadaan sehari-hari orang tuanya seakan membiarkan dia melihat, menyaksikan, bahkan disuruh oleh orang tua, keluarga, guru, bahkan oleh pimpinan tertinggi untuk meninggalkan prinsip-prinsip yang sebenarnya sudah dibangun oleh pendiri bangsa kita bernama Pancasila.
Hakikat Pancasila