 
                
Walau pemerintah China menyebutnya sebagai "pusat pelatihan kejuruan", tapi bagi Aibota Serik, seorang warga China keturunan Kazakhstan, tempat tersebut adalah penjara.
Ayahnya, Kudaybergen Serik, adalah imam setempat di daerah Tarbagatay (Tacheng), Xinjiang barat. Pada Februari 2018, polisi menahannya dan mengirimnya ke "pusat pelatihan kejuruan". Sejak saat itu Aibota tidak lagi mendengar kabar tentang ayahnya.
"Saya tidak mengetahui alasan pemenjaraan ayah saya. Dia tidak melanggar hukum manapun di China, dia tidak diadili di pengadilan," katanya, sambil memegang foto berukuran kecil sebelum kemudian menangis.
Saya bertemu Aibota bersama-sama sekelompok warga China keturunan Kazakh lainnya di Almaty, kota terbesar Kazakhstan.
Mereka berkumpul di sebuah kantor kecil untuk mengajukan petisi kepada pemerintah Kazakhstan agar membantu pembebasan keluarga mereka yang menghilang di "kamp re-edukasi politik".
Badan PBB tentang diskriminasi ras (UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination) mendengar bahwa ada sejumlah laporan yang dapat dipercaya tentang sekitar satu juta orang yang ditahan di kamp di Xinjiang. Hampir semuanya dari kelompok minoritas Muslim, seperti Uighur, Kazakh dan lainnya.