JAKARTA – Debat keempat Pilpres 2019 pada Sabtu malam kemarin memperjelas siapa yang sudah mengamalkan dan siapa yang masih retorika tentang Pancasila serta kedaulatan bangsa. Perempuan Bravo 5 melihat calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo lebih konkret dalam upaya mempertahankan kedaulatan bangsa yang tidak hanya disandarkan pada kekuatan militerisme tapi juga perlindungan warga negara.
Ketua Perempuan Bravo 5 Dr Kartini Sjahrir mengatakan, dalam kurun empat tahun terakhir, Indonesia telah menyelesaikan 51.088 kasus WNI bermasalah di luar negeri, khususnya TKI. Kepemimpinan Jokowi telah berhasil membebaskan 443 WNI dari ancaman hukuman mati. Semua perempuan yang terancam hukuman mati di Saudi Arabia.
Dalam hal diplomasi luar negeri, pergeseran paradigma dari zero enemy-million friends menjadi people-centered diplomacy begitu kentara memperlihatkan kehadiran negara pada persoalan-persoalan yang dihadapi oleh WNI, serta posisi Indonesia yang semakin diperhitungkan di kawan ASEAN maupun dunia.
"Terbukti, Sekjen PBB memberikan kepercayaan kepada Indonesia untuk memainkan peran mediator untuk penyelesaian kasus Rakhine State yang menyebabkan lebih dari 1 juta orang kini tinggal di perbatasan Cox Bazar Bangladesh dengan minim fasilitas. Indonesia juga dipercaya menyelesaikan konflik antaretnis di Afghanistan," kata Kartini dalam keterangannya, Minggu (31/3/2019).
(Baca juga: Perempuan Bravo 5 Dukung Jokowi-Ma'ruf Dorong Pengesahan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender)
Diplomasi Internasional Indonesia, lanjut dia, makin dipercaya dunia dengan terpilihnya Indonesia menjadi anggota non-permanen Dewan Keamanan PBB yang secara efektif berjalan tahun ini. Sesuai dengan konstitusi 1945, Indonesia akan memainkan peran lebih aktif untuk menciptakan perdamaian internasional. Termasuk, memperkuat agenda Women Peace and Security (WPS) yang dimandatkan Resolusi PBB 1325 pada 2000 untuk meningkatkan peran perempuan dalam penyelesaian konflik.
Kartini menuturkan, dalam hal menciptakan perdamaian internasional ini, Indonesia harus percaya diri membawa agenda perempuan, perdamaian dan keamanan, karena di dalam negeri, di bawah Kementerian Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial sudah dijalankan di provinsi-provinsi.

Dalam hal bidang pertahanan, capres 01 menegaskan bahwa ancaman keamanan berupa invansi dari negara-negara tetangga kecil terjadi dalam 20 tahun ke depan, tetapi keamanan dalam negeri justru harus diperhatikan. Kartini menegaskan bahwa maraknya hoax dan fake news di media sosial juga berpotensi memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
"Bukan hanya itu, hoaks berpotensi mengancam kondisi kebhinekaan kita, karena banyak sekali isu yang dilontarkan berpontesi memperkeras politik identitas dan potensi persekusi kepada perempuan. Jika masalah identitas dipolitisasi, terutama identitas agama, maka pontensi konflik akan sangat terbuka," kata Kartini.
(Baca juga: Perempuan Bravo 5 Deklarasi Dukungan untuk Jokowi-Ma'ruf Amin)
Ia melanjutkan, capres 01 sangat menyadari bahwa kebutuhan pertahanan tidak hanya cukup pada penguasaan alutsista, tapi juga dibutuhkan sumber daya manusia yang menguasai teknologi persenjataan, dan penguasaan siber. Dengan demikian, konsep pertahanan fisik seperti yang disampaikan oleh capres 02 Prabowo Subianto tidak relevan dengan perkembangan zaman sekarang, di mana model "perang proxy" dan "perang siber" sudah selayaknya harus lebih diwaspadai saat ini.
"Capres 01 sangat menyadari perkembangan zaman tersebut, sehingga mendorong seluruh intervensi negara didasarkan pada penggunaan teknologi dan internet untuk pemerataan akses kepada seluruh rakyat Indonesia yang tinggal di berbagai pulau. Termasuk gagasan Dilan atau digital layanan, sudah seharusnya ada di Indonesia sebagai cara efektif untuk memeratakan akses layanan publik yang berkualitas, cepat, dan profesional."
(Hantoro)