Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Teka-teki Pembatalan Acara Sultan Yogya

Opini , Jurnalis-Kamis, 11 April 2019 |15:08 WIB
Teka-teki Pembatalan Acara Sultan Yogya
A
A
A

Dapat dipahami mengapa Sultan Yogya tak senang melihat permaisyurinya dipermalukan melalui pemecatan yang dilakukan oleh BK DPD RI. Tapi yang lebih menyentuh tentunya adalah bahwa harapan tentang dukungan Jokowi dalam mencari solusi hukum terhadap polemik kepemimpinan DPD RI itu tiba-tiba dilenyapkan oleh adanya kesan dukungan Istana kepada upaya Oesman Sapta untuk mengikuti Pemilu agar dapat kembali menempati posisinya yang dianggap inkonstitusional oleh kubu GKR Hemas.

Bisa saja bahwa pada titik inilah Sultan Hamengku Buwono X akhirnya memutuskan untuk turun gunung. Dan tidak tanggung-tanggung, dalam undangan itudigunakan istilah “Menyongsong Pemerintahan Baru” sebagai bahasa perlawanan untuk diungkapkan dalam acara Suluk untuk Bangsa yang dibatalkan itu.

Meski tak jadi diadakan, rencana penyelenggaraan acara ini memberikan pesan kepada masyarakat bahwa keharmonisan hubungan antara Istana dan Keraton Yogya terkesan terganggu.

Jika benar asumsi ini maka orang awam akan bertanya, apa sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya perubahan arah dalam sikap Presiden terhadap Keraton Yogya?

Dari sisi politik, tentu sangat sedikit yang bisa diharapkan dapat diperoleh Jokowi dengan “mendukung” upaya Oesman Sapta untuk kembali ke DPD di periode berikut, sebab partai pendukungnya itu tak akan menjadi peraih suara terbanyak untuk mempertahankan Jokowi di kursi kepresidenan—andaikata benar bahwa surat Mensesneg itu dapat diartikan sebagai dukungan.

Di balik kekacauan nalar yang sedang terjadi, satu faktor yang menyebabkan kontroversi ini sampai menimbulkan tabrakan antara putusan Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa antara Oesman Sapta dan KPU adalah adanya ketakutan atau ketidakrelaan untuk menegakkan sistem hukum tatanegara yang semestinya dalam penyelenggaraan Pemilu.

Untuk memenuhi kepentingan tertentu, begitu banyak lembaga dan institusi negara direpotkan; sementara kubu Oesman Sapta pun merasa dirinya benar karena telah mengikuti prosedur hukum yang, dalam pemahamannya, sudah benar. Jadi ada pradoks dan kebuntuan nalar tentang kebenaran dan keadilan di sini, sebab kedua pihak merasa diri sama-sama benar.

Justru dalam kondisi seperti ini diperlukan kehadiran seorang Kepala Negara dan bukan hanya seorang Kepala Pemerintahan, untuk menuntaskan polemik ini sebagai preseden berhukum dan berpolitik secara benar di masa depan.

Lalu, bagaimana dengan acara Sultan HB X yang dibatalkan iu? Jadi atau tak jadi pun acara itu diadakan, pesannya sudah sampai kepada publik

Penulis: Pitan Daslani, pengamat dinamika politik, hukum dan masyarakat

(Qur'anul Hidayat)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement