Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Teka-teki Pembatalan Acara Sultan Yogya

Opini , Jurnalis-Kamis, 11 April 2019 |15:08 WIB
Teka-teki Pembatalan Acara Sultan Yogya
A
A
A

SAMPAI dengan hari Rabu sore, 10 April 2019, banyak pihak bersiap menghadiri acara “Suluk untuk Bangsa: Menyongsong Pemerintahan Baru” yang rencananya akan diadakan di Djakarta Theater pada hari Kamis, 11 April, menghadirkan Sultan Hamengku Buwono X sebagai pengisi acara.

Sesuai undangan terbuka yang disebarkan oleh panitia, dalam acara itu akan ada Renungan dalam Nada, Renungan dalam Aspek Astagatra, dan Doa untuk Negeri.

Selepas Magrib, beredar konfirmasi dari Danang yang namanya tertulis dalam undangan itu untuk melakukan reservasi, bahwa acara itu dibatalkan. “Karena sesuatu hal, panitia mohon maaf sebesar-besarnya, dengan ini diberitahukan bahwa acara Suluk untuk Bangsa tanggal 11/4/2019 jam 18.00 di Djakarta Theater, dibatalkan. Mohon diteruskan kepada teman-teman yang pernah terima undangan.” Begitu bunyi pesan WhatsApp yang dikirim Danang kepada penulis.

Supervisor di Djakarta Theater, Khairudin mengatakan kepada penulis bahwa belum ada kabar tentang rencana penggunaan ballroom gedung itu untuk acara dimaksud pada hari Kamis. “Biasanya kalau ada acara, pasti kami dikabari,” kata petugas ini.

Sementara itu, di Yogyakarta, Sekda DIY Gatot Saptadi menjelaskan bahwa Sultan tak akan menghadiri acara dimaksud dan Pemprov tak tahu tentang akan diadakannya acara itu. "Yang jelas Sultan tidak hadir. Jadi bahasanya beliau tidak hadir," kata Gatot. "Saya juga tidak tahu ini siapa yang menyelenggarakan," imbuhnya.

Sampai di situ berarti bahwa acara itu memang benar direncanakan untuk diadakan sesuai undangan yang sudah disebar itu. Tapi kemudian dibatalkan “karena sesuatu hal” seperti dijelaskan dalam pesan singkat dari Danang kepada penulis.

“Karena sesuatu hal” itulah yang perlu ditelusuri. Melihat agenda acara dimaksud, maka dua dari tiga agenda itu mestinya tak bisa dijadikan alasan pembatalan acara itu, yaitu Renungan Astagatra dan Doa untuk Negeri.

Sebab Astagatra merupakan hubungan berbagai bidang kehidupan manusia dan budaya dengan alam. Astagatra terdiri dari aspek Trigatra dan Pancagatra. Trigatra adalah aspek alam yang terdiri dari penduduk, sumber daya alam, dan wilayah; sedangkan Pancagatra adalah aspek sosial yang terdiri ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Jadi tak ada salahnya merenungkan tentang kehidupan bangsa ini dalam aspek-aspek tersebut.

Sementara itu, Doa untuk Negeri adalah kegiatan yang sah-sah saja. Apalagi menjelang Pemilu maka sudah selayaknya semua warga bangsa mendoakan keselamatan negeri ini. Jadi, di mana masalahnya?

Rupanya yang bisa menjadi alasan pembatalan acara ini adalah sub-tema acara itu yaitu “Menyongsong Pemerintahan Baru,” sebuah frasa yang dirumuskan segera setelah capres Prabowo Subianto menemui Sultan HB X di Keraton.

Sebab sebelumnya, pada tanggal 8 April, Prabowo bertemu dengan Sultan HB X selama 40 menit untuk membicarakan visi-misinya bila ia terpilih dalam Pemilu 17 April. "Pembicaraannya bagus, kami berbicara hal-hal mendasar. Beliau sangat konsen pada NKRI, Bhineka Tunggal Ika, kemandirian bangsa, dan sebagainya," kata Prabowo.

Penjelasan Prabowo kepada Sultan tentang visinya ke depan itu bisa saja telah semakin meyakinkan Sultan bahwa Indonesia butuh pemimpin yang seperti ini. Dan alasan inilah yang bisa menjelaskan kenapa tema yang mau diangkat dalam acara yang dibatalkan itu adalah “Menyongsong Pemerintahan Baru.” Kesimpulan ini berlaku jika benar bahwa Sultan, meski secara tersirat, merestui diadakannya acara tersebut.

Uniknya, kalau pada 8 April Prabowo bertemu dengan Sultan HB X, maka pada 8 Januari silam Jokowi sudah bertemu dengan permaisuri Sultan dan menyatakan dukungannya terhadap upaya GKR Hemas mencari keadilan dan kepastian hukum dalam kasus penggantian pimpinan DPD RI yang dianggap menimbulkan polemik di berbagai kalangan.

Presiden Jokowi, menurut Hemas, banyak bertanya tentang polemik ini dan kemudian memberikan dukungannya kepada upaya Hemas memperkarakan ke Mahkamah Konstitusi apa yang diistilahkan oleh Ratu dan Senator Yogya ini sebagai “kudeta dan langkah inkonstitusional” yang menyebabkan dirinya bersama Irman Gusman dan Farouk Muhammad terdepak dari pucuk pimpinan DPD RI. Irman Gusman dan dua koleganya ini disingkirkan setelah terjadi pergolakan internal di tubuh DPD dimana masa jabatan pimpinan dipangkas dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun sesuai perubahan Tata Tertib DPD.

Menurut Hemas, Jokowi juga mendorong supaya polemik kepemimpinan DPD ini segera diselesaikan. Kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin mengatakan, bahwa karena adanya dukungan Presiden, "Maka dari itu, kami bawa ke MK dan Presiden menyambut positif untuk menyelesaikan masalah ini ke MK."

Ratu Yogya itu katakan bahwa karena Presiden meminta penjelasan tentang apa yang sesungguhnya terjadi, maka, “Sudah kami jelaskan dan beliau memahami dan yang harus kami lakukan berikutnya," kata GKR Hemas.

Kesimpulan dari pertemuan antara GKR Hemas dan Jokowi adalah, "Bapak Presiden sangat, sangat setuju dan ini untuk meluruskan sebuah lembaga negara yang masih mempunyai kepemimpinan dua," ucap GKR Hemas.

Tapi tampaknya, kesan dukungan yang diberikan Presiden Jokowi kepada Ratu Yogya ini tak bertahan lama. Entah faktor luarbiasa apa yang terjadi di balik layar sehingga tiba-tiba saja Keraton Yogya merasa bahwa dukungan Jokowi itu sudah berbalik arah.

Sebab pada 22 Maret 2019 Menteri Sekretaris Negara Pratikno—mantan Rektor UGM, universitas terkemuka yang justru berkedudukan di Yogya—atas nama dan atas arahan Presiden, mengirim surat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan putusan PTUN bahwa nama Oesman Sapta harus dimasukkan ke dalam Daftar Calon Tetap untuk Pemilu 2019. Surat itu bisa saja ditafsirkan sebagai restu Presiden Jokowi untuk OSO mengikuti Pemilu agar terpilih lagi dan kembali menduduki posisi Ketua DPD RI.

Dapat diasumsikan bahwa Sultan merasa Presiden tidak konsisten dengan sikapnya ketika menerima GKR Hemas di Istana. Sebab kesan yang muncul dari pertemuan antara GKR Hemas dengan Jokowi pada 8 Januari itu—seperti dituturkan oleh GKR Hemas sendiri—adalah bahwa Presiden ingin agar polemik dualisme kepemimpinan di DPD ini diselesaikan secara hukum negara dan bukan diselesaikan berdasarkan kepentingan politik.

Jelas terlihat bahwa sikap Presiden terhadap surat dari PTUN yang diteruskan ke KPU oleh Mensesneg itu, meski sudah sesuai dengan aturan hukum, bisa saja dianggap sebagai pengabaian atau pembatalan terhadap dukungan Presiden kepada GKR Hemas dalam mencari kepastian hukum terhadap polemik kepemimpinan di DPD RI.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement