Beberapa kemajuan Dimas yang signifikan di antaranya, mengikuti instruksi dalam bahasa Indonesia dan Inggris, melakukan pekerjaan rumah seperti membuang sampah, mencuci piring, berkomunikasi melalui visual PECS (picture exchange communication).
"Di tahun ke-4 sekiolah, Dimas sudah bisa menggunakan toilet sehingga tidak lagi menggunakan popok, bisa bersepeda, bisa mengerjakan puzzle. Tahun ke-5 dia bisa mengenal huruf, terutama namanya. Dia mulai bisa bersosialisasi dengan keluarga di rumah, berangkat ke sekolah naik bis, bersikap tenang kalau dibawa ke supermarket dan tempat-tempat umum lainnya," jelas Yuli.
"Begitu besar perubahan Dimas mulai prilaku yang awalnya sulit untuk kami kontrol, sehingga suatu hari kami pernah kehilangan Dimas di supermarket, sampai kemudian dia belajar bagaimana bersikap di tempat perbelanjaan," kata Yuli.
Melihat kemajuan yang dicapai Dimas selama sekolah hampir 10 tahun, Yuli dan keluarganya memutuskan untuk mengajukan visa tinggal permanen di Australia lewat jalur graduate skilled visa pada tahun 2016.
"Ini bukanlah keputusan yang mudah, karena keluarga besar di Indonesia meminta kami untuk kembali ke Tanah Air," kata Yuli.
Setelah menjalani tes kesehatan, Dimas dinyatakan tidak lolos.
"Kondisi autismenya dianggap Public Interest Criteria (PIC), menurut peraturan Imigrasi, berbiaya signifikan terhadap layanan kesehatan dan masyarakat Australia," kata Yuli.
Australia menjalankan sistem jaminan layanan kesehatan dan kesejahteraan, termasuk untuk warga berkebutuhan khusus yang berhak mendapat tunjangan dari lembaga Centrelink.
Yuli mengajukan banding atas putusan Imigrasi ke Administrative Appeal Tribunal (AAT) dan Dimas diberi kesempatan untuk tes kesehatan lagi.
Dari hasil tes kesehatan yang kedua, kondisi autisme Dimas turun dari tingkat severe (parah) menjadi moderate, dan kemampuan komunikasi Dimas meningkat dari non-verbal menjadi tertunda bicara (speech delay).