BIOSKOP pertama di Jakarta berdiri Desember 1900 di Jalan Tanah Abang I. Jakarta Pusat, karcis kelas satu harganya dua gulden (perak) dan harga karcis kelas dua setengah perak.
Mengutip Ensiklopedia Jakarta 3 (Eni Setiati,dkk, 2009). Bioskop zaman dulu bermula di sekitar Lapangan Gambir (kini Monas). Bangunan bioskop masa itu menyerupai bangsal dengan dinding dari bambu atau kayu dan beratapkan kaleng atau seng. Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa keliling ke kota yang lain. Bioskop ini dikenal dengan Talbot (nama dari pengusaha bioskop tersebut).
Lalu bioskop lain diusahakan oleh seorang yang bernama Schwarz, tempatnya terletak kira-kira di Kebon Jahe, Tanah Abang. Sebelum akhirnya hancur terbakar, bioskop ini nama menempati sebuah gedung di Pasar Baru. Ada lagi bioskop yang bernama De Callone (nama pengusahanya) yang terdapat di Deca Park. De Callone ini mula-mula adalah bioskop terbuka di lapangan, yang di zaman sekarang disebut "misbar", gerimis bubar. De Callone adalah cikal bakal dari bioskop Capitol yang terdapat di Pintu Air.
Bioskop-bioskop lain seperti, Elite di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Cinema di Krekot, Astoria di Pintu Air, Central di Jatinegara, Rialto di Senen dan Tanah Abang, Surya di Tanah Abang, Thalia di Hayam Wuruk, Olimo, Orion di Glodok, Al Hambra di Sawah Besar, Oost Java di Jln. Veteran, Rembrant di Pintu Air, Widjaja di Jl. Tongkol Pasar Ikan, Rivoli di Kramat, dan lain-lain merupakan bioskop yang muncul dan ramai dikunjungi setelah periode 1940-an.
(Baca juga: Sejarah Karet Tengsin: Berawal Seorang Keturunan China yang Baik Hati)
(Baca juga: Sejarah Angke, Kampung 'Darah dan Bangkai')