JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) diamanati undang-undang untuk menangani perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), termasuk sengketa pilpres 2019 yang diajukan pihak kubu paslon 02, Prabowo-Sandiaga, yang akan diputus oleh kesembilan hakimnya pada hari ini, Kamis, 27 Juni 2019.
Empat hakim di antaranya merupakan hakim yang juga menangani gugatan sengketa pilpres 2014 yang juga diajukan kubu Prabowo. Keempatnya yaitu Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat dan Wahiduddin Adams.
Sementara lima hakim lainnya baru kali ini menangani PHPU presiden dan wakil presiden. Mereka adalah I Dewa Gede Palguna, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Suhartoyo dan Manahan M.P. Sitompul.
Baca juga: Sah! MK Tolak Seluruh Gugatan Prabowo-Sandi
Pada sidang sengketa pilpres 2014, MK menolak seluruhnya permohonan perselisihan pemilihan umum (PHPHU) presiden dan wakil presiden yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Berikut profil kesembilan hakim MK yang akan memutus sengketa pilpres 2019.
1. Anwar Usman
Anwar Usman merupakan ketua MK periode 2018-2020 yang sebelumnya dipilih oleh sembilan hakim MK pada April 2018 lalu untuk menggantikan posisi Arief Hidayat.
Sebelum menduduki posisi ketua, Anwar sudah berkiprah sebagai hakim MK sejak tahun 2011, di mana posisi terakhirnya yaitu sebagai wakil ketua MK sejak tahun 2015.
Anwar, yang merupakan lulusan Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) tahun 1975, mengawali kariernya sebagai seorang guru honorer di SD Kalibaru, Jakarta. Ia merantau dari kampung halamannya di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Ia lantas melanjutkan studinya kala masih bekerja sebagai guru dengan mengambil pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus tahun 1984.
Baca juga: Tim Hukum Jokowi Sorak Ria Sambut Putusan MK, Kubu Prabowo Lesu
Anwar pun menyelesaikan S2-nya di Program Studi Magister Hukum STIH IBLAM Jakarta pada tahun 2001, sebelum akhirnya mengambil program S3 Bidang Ilmu Studi Kebijakan Sekolah UGM dan lulus pada tahun 2010.
Dalam karirnya kehakimannya, ayah tiga anak yang juga pecinta teater ini sempat menjadi Asisten Hakim Agung selama periode 1997 hingga 2003, yang berlanjut dengan pengangkatannya menjadi Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung selama tiga tahun.
Pada tahun 2005, Anwar diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta sambil tetap mengemban jabatan kabiro kepegawaian MA.
Anwar lantas diusulkan Mahkamah Agung untuk menjadi hakim MK. Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono pun akhirnya melantik Anwar sebagai hakim MK di Istana Negara, Jakarta, pada tahun 2011 lalu.
2. Aswanto
Komisi III DPR kembali memilih Aswanto untuk menjadi hakim konstitusi awal tahun 2019. Namanya dan Wahiduddin Adams dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan dari 11 nama yang dicalonkan.
Sebelum menjadi hakim MK, guru besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin ini tidak asing dengan lingkungan lembaga tersebut. Ia sebelumnya pernah dipercaya MK menjadi satu dari tiga anggota panitia seleksi Dewan Etik MK.
Baca juga: Ketika Jokowi Puji Kebesaran Hati Prabowo-Sandiaga
Aswanto menjadi hakim MK setelah mantan ketua MK Akil Mochtar diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap sejumlah sengketa Pemilukada.
Latar belakang pendidikannya yang tidak berkenaan langsung dengan hukum ketatanegaraan - bidang yang harus dikuasai hakim konstitusi, selain hukum administrasi negara - sempat membuatnya dipertanyakan Komisi III DPR.
Aswanto sendiri mengambil jurusan hukum pidana selama pendidikan sarjananya di Universitas Hasanuddin, Makassar, hingga lulus tahun 1986.
Hakim berusia 55 tahun kelahiran Palopo, Sulawesi Selatan, ini lantas melanjutkan studinya dengan mengambil program pascasarjana Ilmu Ketahanan Nasional UGM (1992) dan meraih gelar doktornya di Fakultas Ilmu Hukum Universitas Airlangga (1999) dengan disertasi terkait isu hak asasi manusia (HAM), yang menurutnya berhubungan erat dengan konstitusi.
Kini Aswanto menduduki jabatan wakil ketua MK yang sudah ia emban sejak tahun 2018 lalu.
3. Arief Hidayat
Arief Hidayat dilantik menjadi hakim konstitusi pada tahun 2013 di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta. Ia menggantikan Mahfud MD yang mengakhiri masa jabatan yang telah diembannya sejak 2008.
Baca juga: Putusan MK Sudah Final, Apapun Hasilnya Harus Diterima
Guru besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro ini sempat menjabat sebagai ketua MK selama dua periode, yaitu sejak tahun 2015 hingga 2018. Untuk itu, Arief sudah tak bisa lagi masuk pencalonan ketua MK.
Pria kelahiran Semarang 3 Februari 1956 ini menyelesaikan program S1-nya di Fakultas Hukum UNDIP pada tahun 1980. Ia kemudian mengambil program S2 Ilmu Hukum Universitas Airlangga (1984) dan meraih gelar doktor dari kampus pertamanya, UNDIP, pada tahun 2006.
Arief sempat didesak mundur oleh 54 guru besar dari universitas di Indonesia pada Februari 2018, karena telah mendapat dua sanksi etik berupa teguran lisan, selama menjadi orang nomor satu di MK.
Sanksi pertama diberikan Dewan Etik MK setelah Arief mengaku mengirimkan katebelece atau surat pendek kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan, Widyo Pramono, yang intinya menitipkan seorang jaksa muda yang merupakan familinya agar kariernya meningkat.
Sementara sanksi kedua didapat Arief karena terbukti menemui sejumlah pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta, di kala dirinya hendak menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan untuk kembali menjadi hakim konstitusi, yang pada akhirnya ia dapatkan.
Namun Arief meresponnya dengan mengindikasikan bahwa mereka yang mendesaknya mundur berasal dari kelompok liberal.