Awalnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung. Selain itu, Syafruddin juga diganjar denda sebesar Rp700 juta subsider tiga bulan penjara.
Majelis hakim meyakini Syafruddin terbukti bersalah karena perbuatannya melawan hukum. Menurut hakim, Syafruddin telah melakukan penghapusbukuan secara sepihak terhadap utang pemilik saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004.
Padahal dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, tidak ada perintah dari Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menghapusbukukan utang tersebut.
Baca juga: Bebas dari Penjara KPK, Syafruddin Merasa Terinspirasi Kisah Nelson Mandela
Dalam analisis yuridis, hakim juga berpandangan bahwa Syafruddin telah menandatangani surat pemenuhan kewajiban membayar utang terhadap obligor BDNI, Sjamsul Nursalim. Padahal, Sjamsul belum membayar kekurangan aset para petambak.
Syafruddin juga terbukti telah menerbitkan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) kepada Sjamsul Nursalim. Penerbitan SKL BLBI itu menyebabkan negara kehilangan hak untuk menagih utang Sjamsul sebesar Rp4,58 triliun.
Syafruddin tidak terima terhadap putusan tersebut. Pihak Syafruddin mengajukan upaya banding di tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas putusan itu.
Di tingkat banding, vonis Syafruddin justru diperberat menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan penjara. Putusan tersebut dibacakan oleh Hakim PT DKI pada 2 Januari 2019.
Baca juga: Putusan Lepas Syafruddin di Tingkat Kasasi Diwarnai Perbedaan Pendapat
Pertimbangan hakim di tingkat banding tidak jauh berbeda dengan putusan di tingkat pertama atau Pengadilan Tipikor.
Atas putusan tersebut, Syafruddin mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Sementara KPK menerima hasil putusan di tingkat banding karena sudah sesuai argumentasi lembaga antirasuah dan fakta-fakta yang muncul di persidangan.
(Hantoro)