 
                ADA dua peristiwa penting dalam dunia penegakan hukum di Indonesia yang terjadi baru-baru ini. Pertama, putusan bebas Mahkamah Agung terhadap kasus BLBI yang melibatkan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). Putusan MA ini menarik perhatian publik. Setidaknya putusan tersebut membalikkan persepsi sebagian masyarakat bahwa untuk kasus sebesar itu, apalagi dianggap sebagai kasus mega-korupsi, tak mungkin MA membebaskan terdakwa.
Fakta bahwa kekuasaan judex juris akhirnya mengabulkan permohonan kasasi SAT itu menunjukkan bahwa MA telah menunjukkan dirinya sebagai kekuasaan yudikatif tertinggi yang independen dan patut dihormati.
Kesan kuat yang timbul di sini adalah bahwa MA tak terpengaruh oleh emosi, tekanan, dan persepsi publik dalam menangani kasus korupsi. Independensi seperti ini patut diakui dan dipertahankan dan semoga terus demikian adanya.

Sebab, seperti diungkapkan oleh begawan hukum Prof. Satjipto Rahardjo (alm), orang yang kalah di pengadilan belum tentu salah dan orang yang menang di pengadilan belum tentu benar.
Peristiwa kedua yang menarik perhatian publik adalah pengakuan dari calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pamolango yang menyinggung kasus-kasus trading in influence (perdagangan pengaruh) dalam penanganan kasus korupsi.
Sesungguhnya trading in infuence itu, meski sudah diratifikasi dengan UU No. 7/2006, UU ini semestinya belum bisa digunakan sebagai dasar hukum untuk memidanakan pelaku perdagangan pengaruh, sebab belum ada ketentuan tentang sanksi pidana yang bisa dijatuhkan terhadap pelanggar UU ini.
Namun demikian, pengadilan justru telah menggunakan delik perdagangan pengaruh untuk menghukum terdakwa. Yaitu hakim memutus bersalah orang yang dianggap memperdagangkan pengaruhnya, padahal dasar hukumnya belum ada. Sebagai contoh, kasus mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan mantan Ketua DPD RI Irman Gusman.

Dalam kasus Irman Gusman, misalnya, konstruksi putusannya termasuk konstruksi untuk delik dagang pengaruh. Padahal, perdagangan pengaruh itu sendiri tidak didakwakan oleh jaksa. Dan sesuai asas hukum, seorang hakim tidak dibenarkan memutus apa yang tidak didakwakan oleh jaksa.
Di titik inilah hakim Nawawi Pamolango patut diberi pujian, karena secara terus terang ia mengakui bahwa putusan yang dijatuhkan kepada Irman Gusman yaitu pidana 4 tahun 6 bulan ditambah dengan hukuman pencabutan hak politiknya selama tiga tahun terhitung sejak pidana pokok itu berakhir, yaitu putusan yang didasari pada konstruksi berpikir tentang adanya perdagangan pengaruh itu, ternyata keliru dan bermasalah.