Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Sisingamangaraja XII, Raja yang Pertahankan Tanah Batak hingga Titik Darah Terakhir

Robert Fernando H Siregar , Jurnalis-Selasa, 20 Agustus 2019 |07:02 WIB
Sisingamangaraja XII, Raja yang Pertahankan Tanah Batak hingga Titik Darah Terakhir
Kompleks Makam Sisingamangaraja XII di Tapanuli (Foto: Robert/Okezone)
A
A
A

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentara Belanda mendarat di pantai-pantai Aceh. Dan 3 tahun kemudian (tahun 1876), Belanda mengumumkan ‘Regerings Besluit’ yang menyatakan daerah Silindung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga.

Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat dan strategi Belanda, kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu Belanda akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan wilayah lainnya.

Menyikapi hal tersebut, rapat raksasa digelar di pasar Balige pada Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu, diambil tiga keputusan, yaitu 1. Menyatakan perang terhadap Belanda. 2. Zending agama tidak diganggu. Serta 3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan kolonial Belanda. Dalam hal itu, Raja Sisingamangaraja XII-lah yang dengan semangat tinggi mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah.

Sisingamangaraja XII

Tahun 1877, mulailah perang Batak yang berlangsung selama 30 tahun. Perang dimulai di Bahal Batu, dan Humbang. Perang begitu ganas, Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.

Pasukan Belanda yang datang menyerang kearah Bakkara markas besar Raja Sisingamangaraja XII, juga di Tangga Batu dan Balige, dapat dilawan pasukan Raja Sisingamangaraja XII dan pasukan Belanda berhasil dihambat.

Belanda merobah taktik pada penyerangan babak berikutnya dan menyerbu ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Raja Sisingamangaraja XII di daerah Danau Toba. Dan selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakkara tahun 1882. Hampir seluruh wilayah Balige telah dikuasai Belanda. Sementara Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Namun setahun kemudian, Laguboti jatuh ke tangan Belanda, setelah mengerahkan pasukan satu battalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

Pada tahun 1883 atau seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya, giliran Toba dianeksasi Belanda. Namun Belanda tetap merasa penguasaan terhadap tanah Batak, berjalan lamban. Untuk mempercepat rencana kolonialisasi itu, Belanda menambah pasukan besar yang didatangkan dari Batavia (Jakarta sekarang) dan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Sisingamangaraja XII membalas serangan Belanda dan terjadi pertempuran besar.

Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatan dan Raja Sisingamangaraja XII beserta para panglima-nya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu di hampir seluruh tanah Batak, pasukan belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.

Akan tetapi, 12 Agustus 1883, Bakkara tempat istana dan markas besar Raja Sisingamangaraja XII, berhasil direbut pasukan Belanda. Raja Sisingamangaraja XII bergegas ke Dairi bersama keluarga dan pasukan-nya yang setia serta panglima-panglima-nya.

Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Raja Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak terdiri dari orang-orang Senegal, oleh pasukan Raja Sisingamangaraja XII menyebut barisan musuh tersebut dijuluki ‘Sigurbak Ula na Birong’ (pemalas berkulit hitam). Pasukan Raja Sisingamangaraja XII tidak takut dengan pasukan Belanda itu dan mereka terus bertarung.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement