Kami yang Menjaga Hutan
Sumarni Laman menceritakan kisah masa kecilnya yang kerap terjaga memantau jilatan api di sekitar rumahnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
"Rumah saya itu dulu di sampingnya kayak hutan. Itu dari saya kecil, dari SD, sering kebakar, hampir kena rumah," tuturnya.
"Kami harus jaga siang-malam untuk menjaga apinya biar tidak kena ke rumah."
Sumarni kecil sudah ikut andil dalam upaya mempertahankan tempat tinggal mereka dulu. Ember demi ember diisi air dan disusun di sekitar rumah, "Biar ketika apinya dekat itu langsung siram."
Baca juga: Polda Sumsel Tetapkan Puluhan Tersangka Karhutla
Kegiatan tersebut bisa dilakukan selama satu minggu penuh, setiap hari.
Oleh karena itu, Sumarni sudah "akrab" dengan kabut asap. Dalam ingatannya, sejak 2002, dampak asap kebakaran hutan dan lahan, dalam siklus 4–5 tahunan yang dipengaruhi iklim El Nino, terus-menerus dirasakan.

Sumarni tidak menyangka bahwa di sisi lain, kegiatan slash and burn alias memangkas dan membakar lahan, sudah menjadi bagian dari budaya turun-temurun warga Dayak yang bermata pencarian sebagai petani ladang. Orang tua Sumarni pun dulunya bekerja di ladang.
"Orang Dayak itu mengenal namanya dua hutan, hutan primer dan sekunder," ujarnya.
Menurut dia, hutan primer adalah lokasi yang tidak boleh disentuh. Kalaupun ada sesuatu yang perlu dilakukan atau diambil di dalamnya, ada syarat yang harus dipenuhi.
"Ketika kamu masuk hutan, kamu harus melakukan upacara adat."
Baca juga: PKB: Daripada Saling Menyalahkan, Ayo Bersama Atasi Kebakaran Hutan
Sementara hutan sekunder adalah tempat yang dekat permukiman dan boleh ditanami warga. Di hutan sekunder ini lah, menurut Sumarni, warga biasanya melakukan tradisi pembakaran lahan gambut untuk menurunkan kadar asam yang dikandung.
Sumarni menuturkan, sebelum dibakar, biasanya warga akan membuat kanal air di sekeliling lahan dan memangkas tanaman yang tumbuh di atasnya.
"Kemudian, satu desa itu akan menjaga api itu agar tidak merembet ke tempat lain, dan biasanya dulu itu api akan padam dalam satu hari dan asapnya tidak banyak," ungkapnya.
Akan tetapi, pembakaran lahan selama dua dekade terakhir berbeda dengan yang ia ketahui selama ini.
"Sekarang kan orang datang ke Kalimantan, kemudian mereka meniru ini. Ada banyak perusahaan besar yang (ingin) membuka lahan dengan cara mudah, bakar saja," ucapnya.