JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah dua lokasi di Medan, Sumatera Utara selama dua hari. Penggeledahan tersebut berkaitan dengan kasus dugaan suap yang menyeret Wali Kota noaktif Medan Tengku Dzulmi Eldin (TDE).
Lokasi yang digeledah penyidik yakni rumah dua saksi, Yencel alias Ayen dan Farius Fendra. KPK menggeledah rumah Ayen pada Selasa 29 Oktober 2019. Sedangkan kediaman Farius Fendra digeledah pada hari ini, Rabu (30/10/2019).
"Sejak kemarin dan hari ini penyidik telah melakukan penggeledahan di dua tempat di Kota Medan terkait dengan kasus dugaan suap terkait dengan proyek dan jabatan pada Pemerintah Kota Medan Tahun 2019," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (30/10/2019).
Tim menyita sejumlah barang bukti dari dua rumah saksi tersebut. Beberapa barang bukti yang disita penyidik yakni dokumen proyek di Kota Medan dan bukti elektronik. "Dari lokasi geledah Selasa disita sejumlah dokumen proyek dan barang bukti elektronik," ucapnya.
Febri mengatakan, pihaknya mengimbau agar semua pihak bersikap kooperatif, termasuk saksi Farius Fendra yang direncakan akan diperiksa minggu depan.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Tengku Dzulmi Eldin sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait dengan proyek dan jabatan di lingkungan pemerintahannya tahun 2019.
Selain Dzulmi, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya yakni, Kadis PUPR Kota Medan, Isa Ansyari (IAN) dan Kabag Protokoler Kota Medan, Syamsul Fitri Siregar (SFI). Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka setelah terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Dzulmi Eldin dan Syamsul Fitri Siregar diduga menerima sejumlah uang dari Isa Ansyari. Uang tersebut disinyalir berkaitan dengan jabatan Isa Ansyari yang diangkat sebagai Kadis PUPR Medan oleh Dzulmi Eldin.
KPK menduga Isa memberikan uang tunai sebesar Rp20 juta setiap bulan pada periode Maret-Juni 2019, kemudian pada 18 September 2019 senilai Rp50 juta kepada Dzulmi.
Tak hanya itu, Dzulmi juga diduga menerima suap dari Kadis PUPR senilai Rp 200 juta. Uang suap itu dipakai untuk memperpanjang masa perjalanan dinas Dzulmi bersama keluarganya di Jepang.
(Qur'anul Hidayat)