JAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Sunanto (Cak Nanto) menyampaikan refleksi kebangsaan bertepatan dengan milad ke-107 tahun Persyarikatan Muhammadiyah. Cak Nanto mengatakan saat ini Muhammadiyah menghadapi dua tantangan besar, yakni industri 4.0 dan polarisasi kebangsaan.
Cak Nanto berpendapat, polarisasi kebangsaan banyak terjadi akibat adanya penetrasi politik yang berlebihan. Penetrasi politik tersebut memanfaatkan fakta-fakta keanekaragaman identitas yang ada di Indonesia. Hal ini disebut sebagai anomali pasca era kemerdekaan.
"Dahulu, pendiri negara, termasuk Muhammadiyah, memanfaatkan keanekaragaman agama, suku, dan identitas lainnya sebagai bahan baku persatuan dan rasa solidaritas perlawanan terhadap imperialisme, namun saat ini terdapat sekolompok orang yang justru memanfaatkan kebinekaan untuk dibelah sebagai basis dukungan politik," kata Cak Nanto kepada Okezone, Senin (18/11/2019).
"Dampaknya adalah terjadi ketegangan sosial, bahkan sampai pada level kekerasan sosial," sambung dia.
Pemuda Muhammadiyah memandang hal ini harus diakhiri. Menurut dia politik harus diisi oleh ruang moderasi sosial dan politik. Artinya keanekaragaman tidak untuk digunakan sebagai alat pemecah belah persatuan, tetapi justru dijadikan modal sosial yang kuat.

“Itulah yang membuat Indonesia sebagai sebuah negara besar di dunia, dengan kebinekaan yang mengikutinya. Diperlukan sikap negarawan, dengan mengedepankan kepentingan nasional ketimbang urusan pribadi, atau kelompok tertentu saja. Jangan korbankan kesatuan bangsa yang telah kokoh didirikan oleh para pendiri negara hanya mementingkan urusan recehan," tuturnya.
Tantangan lain yang dihadapi Muhammadiyah dan juga Indonesia adalah bagaimana menghadapi industri 4.0. Ia melihat bangsa ini belum terlalu siap menghadapi tantangan tersebut. Di sisi lain, Cak Nanto megatakan, industri nasional masih belum terbangun dengan kuat. Konsep industri di Indonesia juga masih rapuh, tetapi bangsa ini dituntut untuk menghadapi industri 4.0.
"Kesenjangan ekonomi dan sosial juga masih menjadi persoalan bangsa. Kemiskinan dan pengangguran masih menjadi momok bagi bangsa yang bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ke-lima Pancasila itu masih belum kuat membumi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Itulah tantangan yang harus dijawab oleh Muhammadiyah, dalam merefleksikan 107 tahun kelahirannya," ucapnya.
Cak Nanto juga menjelaskan kontribusi Muhammadiyah pada Indonesia pada era prakemerdekaan hingga detik-detik Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Muhammadiyah disebut memberikan dasar pijakan nilai-nilai kebangsaan yang kokoh terhadap Indonesia.
Cak Nanto melanjutkan, ibarat rumah, Muhammadiyah memberi fondasi bagaimana sebuah rumah perlu dirawat, dijaga, dan diisi dengan hal-hal produktf sehingga rumah ke-Indonesiaan tetap berdiri kokoh.
"Muhammadiyah mengikhlaskan kader-kader terbaiknya untuk ikut berjuang merebut kemerdekaan seperti Jendral Sudirman,dan Ir Soekarno. Ketika bangsa Indonesia merumuskan konsep dasar berdirinya Indonesia, berkumpulah 9 orang anak bangsa terbaik untuk menetapkan falsafah dasar negara Indonesia. Empat dari panitia Sembilan itu adalah kader Muhammadiyah," tuturnya.
Muhammadiyah, Cak Nanto menambahkan, juga berkontribusi bagi bangsa melalui pembentukan madrasah pendidikan, ceramah umum, pelatihan-pelatihan, dan forum-forum sosial politik lainnya untuk membentuk kader-kader bangsa yang militan, dan progresif.
Nilai-nilai itu adalah kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan. Dalam aspek kebangsaan, jamaah Muhammadiyah dibimbing untuk selalu mencintai republik Indonesia dengan berbagai kebinekaan yang menyertainya.
Di aspek keislaman, Muhammadiyah mengajarkan bagaimana ber-Islam yang benar, berkemajuan, Islam yang membebaskan keterbelakangan sehingga terwujud masyarakat Islam yang maju, berdaulat, berwawasan terbuka.
"Sedangkan di aspek kemanusiaan, Muhammadiyah mewarisi sikap untuk menumbuhkan sifat tolong-menolong, (taawun), tanpa melihat latar belakang siapa yang ditolong. Maka lahirlah Penolong Kesengsaraan Oemum (PKU), lembaga tata kelola bencana, pendirian panti asuhan, dan seterusnya," ungkap Cak Nanto.
Baca Juga : Tantangan Muhammadiyah di Usia 107 Tahun
Menurut Cak Nanto, Indonesia berutang banyak pada Muhammadiyah. Sebab banyak kontribusi bersejarah dan monumental yang telah dilahirkan dari rahim Muhammadiyah.
"Namun segala prestasi itu tak harus membuat Muhammadiyah jumawa. Apa hal kebaikan yang pernah dikerjakan, perlu direproduksi kembali, khususnya untuk menjawab berbagai persoalan yang kini mengada dalam kehidupan kekinian," ucap Cak Nanto.
Baca Juga : Milad Muhammadiyah ke-107, PDIP: Bung Karno Santri Kyai Dahlan
(Erha Aprili Ramadhoni)