DEN HAAG - Mahkamah Internasional PBB (ICJ), pada Rabu 15 Januari 2020 menyatakan bahwa pihaknya akan menyampaikan keputusan mengenai apakah langkah-langkah darurat harus diberlakukan terhadap Myanmar terkait dugaan genosida terhadap Muslim Rohingya, pada pekan depan. Keputusan itu diambil sekira sebulan setelah Pemimpin Sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi hadir dalam persidangan di Den Haag guna membela operasi penumpasan berdarah yang dilakukan militer negaranya terhadap Rohingya pada 2017.
Gambia, sebuah negara mayoritas Muslim di Afrika mengajukan kasus Muslim Rohingya, Myanmar ke Mahkamah Internasional (ICJ) setelah sekira 740.000 orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, dan melaporkan terjadinya perkosaan, pembakaran, dan pembunuhan massal secara luas.
BACA JUGA: Suu Kyi Ingin Kasus Genosida Rohingya Dihapuskan dari Mahkamah Internasional
"Mahkamah Internasional Kamis 23 Januari 2020,... akan menyampaikan keputusannya terhadap permintaan diambilnya langkah-langkah darurat yang diajukan Gambia," kata ICJ dalam sebuah pernyataan yang dilansir VoA.
ICJ menambahkan keputusan itu akan disampaikan pukul 10.00 waktu setempat. Kementrian Kehakiman Gambia telah mengumumkan tanggal tersebut di Twitter pada Rabu pagi.
Gambia mengajukan kasus terhadap Myanmar yang mayoritas beragama Budha dengan dukungan dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Kanada dan Belanda sejak itu juga memberikan dukungannya.
Pada persidangan Desember, Gambia menuduh Myanmar melanggar Konvensi Genosida PBB 1948, yang berarti kasus itu bisa diajukan ke ICJ, badan peradilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Uganda juga mengatakan ada "risiko serius dan nyata akan berulangnya genosida" dan menyerukan "langkah sementara" yang mendesak untuk mencegah Myanmar melakukan kekejaman lebih jauh atau menghapus bukti-bukti kejahatannya.
Tidak jelas seberapa spesifik tindakan darurat itu nantinya, tetapi menegakkan keputusan tersebut kemungkinan akan sulit.
Jika ICJ memutuskan mendukung Gambia, ini akan merupakan langkah pertama dalam kasus yang kemungkinan akan berlangsung selama bertahun-tahun.
Diperkirakan 600.000 warga Rohingya masih tinggal di negara bagian Rakhine, barat Myanmar dalam kondisi yang oleh Amnesty International disebut sebagai kondisi "apartheid".