Telur kocok, kulit jeruk, bawang bombay, adas manis dan rempah-rempah, semua dicampur menjadi satu dengan cacing laut atau pasir tersebut. Hasilnya adalah telur dadar yang tampak besar dan gemuk karena penuh dengan cacing. Menu ini biasanya disajikan di bulan-bulan menjelang musim dingin.
Cacing pasir “palolo” banyak ditemukan di Vietnam. Yakni di sepanjang pantai di banyak negara yang berbatasan dengan Samudra Pasifik, termasuk Cina, Jepang, Indonesia, atau Samoa.
Cacing ini juga bisa di digoreng dan disajikan dengan roti panggang, dipanggang bersama menjadi isian roti atau bahkan dimakan hidup-hidup. Tetapi mengapa dikonsumsi hanya satu atau dua bulan dalam setahun? Ternyata ini ada hubungannya dengan kebiasaan kawin makhluk laut.
Secara teknis, hanya sebagian ulat palolo yang dipanen untuk dikonsumsi. Cacing pasir palolo berkembang biak secara “epitoky”, suatu proses saat cacing mulai menumbuhkan segmen khusus dari belakang, yang terus meningkat hingga cacing dapat dengan jelas dibagi menjadi dua bagian. Bagian belakang ini berisi telur dan sperma, dan ketika waktunya untuk kawin, biasanya selama bulan kesembilan dan kesepuluh, mereka terlepas dari cacing dan naik ke permukaan, membentuk massa yang besar dan merayap.
Cacing pasir terus hidup di dasar laut, dan bisa mengalami “epitoky” beberapa kali dalam setahun. Karena manusia hanya memanen beberapa segmen reproduksi yang hanya terapung-apung saja, populasi cacing pasir pun tetap aman.