Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE mengungkap, kemunculan terjadinya mutasi yang membentuk varian baru lumrah terjadi. Adanya kemungkinan mutasi yang baru muncul dan bermasalah terhadap kerja vaksin menjadi tugas bagi industri vaksin global.
“Vaksin harus siap untuk disesuaikan berdasarkan kondisi mutan SARS CoV-2 agar kinerja vaksin masih efektif dalam mengenali SARS CoV-2,” tutur dia.
Lebih lanjut, dr. Tjandra juga menyatakan, munculnya mutasi SARS CoV-2 varian D614
sebenarnya sudah lama, tepatnya sejak Februari 2020.
“Menariknya Pemerintah Inggris melaporkan kemunculan mutasi D614 di Inggris kepada WHO dalam kerangka International Health Regulation yang mengatur kemungkinan penularan penyakit antar negara. Selain di Inggris, mutasi SARS CoV-2 juga terjadi di Afrika Selatan,” imbuh dia.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Alergi-Imunologi Indonesia Dr. dr. Iris Rengganis, Sp.PDKAI meyakinkan, varian baru SARS CoV-2 dari Inggris tidak memengaruhi kerja vaksin yang
sudah beredar saat ini. Namun, varian baru dari Afrika Selatan masih dalam pantauan
dampaknya terhadap kerja vaksin yang sudah ada saat ini.
Dia menyebut, mutasi tetap akan terjadi pada virus. Ada yang bersifat kecil-kecilan dan ada
pula yang bersifat besar-besaran. Misalnya, pada virus influenza akan berubah setiap
tahunnya. Jadi, WHO akan mengumumkan kepada produsen, vaksin tipe strain virus apa
saja yang akan beredar pada tahun selanjutnya. Sehingga, vaksin untuk virus influenza
Namun, dr. Iris meyakinkan mutasi varian B117 di Inggris tidak mempengaruhi efektivitas
vaksin atau netralisasi vaksin karena mutasi hanya bersifat sebagian saja pada permukaan
virus (spike virus). Berbeda dengan penemuan mutasi SARS CoV-2 yang ditemukan di
Afrika.
”Yang jadi masalah B1351 di Afrika Selatan menunjukkan dualitas. Kalau kadar
netralisasinya tinggi itu baik, namun jika rendah tidak berhasil untuk dinetralisasi. Bisa jadi
vaksin menjadi tidak efektif,” paparnya.