Tangan Escobar gemetar lagi saat menceritakan kisahnya. Tapi dia memegang tangannya sendiri dan berkata: "Tidak, ayo kita lanjutkan."
"Saya bangkit lagi, karena takdir dan kehidupan memang seperti itu: jika kita kadang-kadang jatuh itu supaya kita bangkit lebih kuat," katanya.
Hebatnya, begitulah cara Escobar bisa memaafkan pria yang memperkosanya dan telah menganiaya dia selama bertahun-tahun: "Dengan pengampunan, lebih mudah untuk membawa perubahan," katanya.
Pada 2013, sekelompok tentara memperkosa dan membunuh tiga perempuan di sebuah jalan di Apartadó, kota terbesar di Urabá.
Waktu berlalu, sepertinya pelaku kejahatan itu tidak akan dihukum, tapi Escobar dan tetangganya memulai serangkaian protes terhadap otoritas pengadilan.
Begitulah bagaimana kelompoknya, Mujeres del Plantón, dimulai.
Organisasi ini sekarang hadir di lima departemen Kolombia dan mendapat dukungan dari beberapa LSM, dan mengikuti warisan Ruta Pacifica de Mujeres [Jalan Damai Perempuan] - sebuah gerakan protes dari 2.000 perempuan yang menandai tonggak penting gerakan perlawanan negara itu tahun 1990-an.
Tidak seperti di hampir semua negara Amerika Latin, Kolombia tidak pernah mengalami revolusi rakyat sehingga, seringkali dikatakan bahwa tidak ada tradisi protes di negara ini.
Namun di wilayah Urabá telah terjadi perlawanan diam-diam.
"Urabá secara historis menjadi tempat lahir konflik, kekerasan telah didaur ulang, tetapi di sini juga menjadi inti perlawanan, terutama kepemimpinan perempuan, karena banyak yang menjanda dan melihat bahwa tatanan sosial mereka rusak," kata Irina Cuesta, seorang sosiolog dan peneliti dari Ideas for Peace Foundation.
"Aksi kolektif mereka tidak bergolak ke protes jalanan. Mereka juga mengatur dan menyelesaikan segala macam masalah masyarakat: mereka mengelola akses ke air, sekolah dan jalan lokal," kata Cuesta.
Saat ini, Escobar dan para pemimpin Mujeres de Plantón lainnya adalah kekuatan yang mengancam kepentingan kelompok bersenjata di wilayah Apartadó.
"Apakah Anda lihat lapangan bermain di sana?" tanya Escobar.
"Itu adalah pasar narkoba terbuka. Setiap malam, mereka ada, dan membagikan parsel kecil, untuk anak-anak kita, untuk anak-anak tetangga kita, untuk cucu-cucu kita,” ujarnya.
"Mereka [geng] memasukkan anak-anak ke dalam narkoba, mereka mulai dengan memberi sedikit dan mengubahnya menjadi pecandu dan pedagang manusia. Kemudian dibunuh karena mengambil atau berebut posisi orang lain, atau karena berhenti dan menolak untuk menjual,” lanjutnya.
"Jadi kami keluar dan mendirikan 'murga' [protes] ... itulah cara kami memaksa mereka untuk menutup lebih dari 10 tempat penjualan narkoba," terangnya.
Namun di sisi lain, langkah itu menyebabkan para pemimpin komunitas menjadi sasaran untuk dibunuh oleh geng kriminal.
(Susi Susanti)