Tapi semua itu dapat disembuhkan seketika itu juga hanya dengan mengusapnya.
Apabila terjadi "kecelakaan" yang mengakibatkan pemain terluka, maka seorang guru debus akan menyembuhkannya dengan mengusap bagian tubuh yang terluka disertai dengan membaca mantra-mantra, sehingga luka tersebut dalam dapat sembuh seketika.
Kemudian, ketika atraksi penyayatan tubuh dengan sejata tajam seperti golok dan pisau, pemain akan menusukkan senjata tersebut ke beberapa bagian tubuhnya seperti: leher, perut, tangan, lengan, dan paha.Ketika atraksi pemakanan kaca dan atau bola lampu, yang dimuntahkan bukannya serpihan kaca melainkan puluhan ekor kelelawar hidup.
Ismet menceritakan bahwa debus bermula pada abad 16 masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus mulai dikenal pada masyarakat Banten sebagai salah satu cara penyebaran agama Islam. Debus awalnya berasal dari daerah Timur Tengah bernama Al-Madad pada abad 13 M dan diperkenalkan ke daerah Banten ini sebagai salah satu cara penyebaran Islam pada waktu itu.
Versi berikutnya asal debus berasal dari ajaran tarekat Rifa’iyah Nuruddin Ar-Raniry ke Aceh dan masuk ke Banten pada Abad 16 M oleh para pengawal Cut Nyak Dien (1848—1908 M) yang diasingkan pemerintah Belanda ke Sumedang.
Salah seorang pengawal yang menguasai Debus memperkenalkan serta mengajarkannya pada masyarakat Banten. Tarekat Rifa’iyah mengajarkan rasa gembira saat bertemu Allah Swt atau disebut epiphany, nah saat seseorang telah mencapai puncak epiphany dia akan kebal terhadap benda tajam apapun.
“Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1651—1692 M, debus menjadi sebuah alat untuk memompa semangat juang rakyat banten melawan penjajah Belanda,” ungkapnya.
(Angkasa Yudhistira)