IRAN - Iran baru saja memilih Ebrahim Raisi, sebagai Presiden garis keras yang setia kepada pemimpin tertinggi negara itu. Raisi mengaku enggan bertemu Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Raisi dapat menjadi kunci untuk menghidupkan kembali negosiasi dalam perjanjian nuklir Iran 2015. Akan tetapi, pemerintahan Biden yakin pemimpin tertinggi Iranlah yang berhak mengambil keputusan.
Ebrahim Raisi adalah Presiden terpilih Iran. Tokoh ultrakonservatif itu menang telak dalam pemilihan presiden dengan tingkat partisipasi pemilih terendah. Ketika ditanya apakah ia akan menemui Presiden AS Joe Biden, Raisi menjawab, “Tidak.”
AS dan lima negara lainnya tengah merundingkan sejumlah persyaratan baru dari perjanjian nuklir Iran tahun 2015, tapi Raisi mengatakan bahwa program rudal Iran “tidak dapat dinegosiasikan.” Ia juga menyalahkan AS karena melanggar janji.
“Anda berkewajiban untuk mencabut sanksi dan Anda tidak melakukannya; kembali dan penuhilah komitmen Anda. Dan kepada negara-negara Eropa, menurut saya mereka seharusnya tidak terus ditekan oleh kebijakan Amerika,” ujarnya.
(Baca juga: Ebrahim Raisi Terpilih Jadi Presiden, Israel Rencanakan Serangan ke Iran)
Terkait hal ini, AS memiliki pendapatnya sendiri. “Dalam pandangan kami, ada seorang pengambil keputusan di Iran yang sampai sekarang belum berubah, ia adalah Pemimpin Tertinggi Iran,” terang Juru Bicara Gedung Putih, Jen Psaki.
Pemimpin Tertinggi Iran yang dimaksud Psaki adalah Ayatollah Ali Khamenei. Siapapun yang menjabat presiden bertanggung jawab kepada pemimpin tertinggi negeri itu.
Psaki menyebut pernyataan Raisi itu sebagai gertakan politik dan mengatakan bahwa sanksi-sanksi – yang diterapkan kembali oleh pemerintahan mantan Presiden Trump – merupakan bagian dari diskusi untuk menghidupkan kembali perjanjian internasional tersebut.
(Baca juga: Presiden Baru Iran Dukung Pembicaraan Nuklir, Tolak Bertemu Biden)
“Kami tentu paham seperti kita lihat dari negosiasi sebelumnya bahwa akan ada berbagai retorika yang diluncurkan untuk menanggapi kebutuhan politik di dalam negeri. Kami paham itu, tetapi fokus kami tetap pada negosiasi-negosiasi yang kami harap bisa berlanjut,” lanjutnya.