Semua kabar terkait kekalahan Perang Dunia II, dirahasiakan. Termasuk informasi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur Jakarta, juga ditutup rapat-rapat. Di daerah-daerah. Jepang masih percaya diri memperlihatkan gestur sebagai penguasa. Di depan rakyat, tentara Jepang masih rutin patroli sekaligus melakukan razia penggeledahan.
"Menolak untuk menjawab di depan umum, dan sering kali secara pribadi menyangkalnya," tulis Anton E Lucas. Sikap bertahannya pangreh praja untuk tetap condong ke pemerintah Jepang, tidak lepas dari pengaruh Perjanjian Postdam 16 Juli 1945. Dalam perjanjian dengan Sekutu yang berlokasi di dekat Berlin, Jepang akan mengembalikan Indonesia kepada Belanda.
Baca juga: Mengenal KH Munasir, Komandan Batalyon Tjondromowo yang Bikin Pasukan Belanda Kocar-Kacir
Postdam juga berarti jatuhnya bom atom sekaligus kekalahan Jepang yang cepat, sebelum pemindahan kekuasaan secara resmi dilakukan. Para elit pangreh praja yang sejak awal tahu hal itu, sadar. Bahwa rakyat tidak memihaknya. Sementara di satu sisi ketergantungan mereka kepada atasan, semakin pudar. Isi Perjanjian Postdam mendorongnya mengambil sikap sebagai "benalu".
"Apakah yang akan terjadi bila atasan itu runtuh atau diganti? Pada umumnya para pangreh praja berharap, sesuai dengan perjanjian Postdam yang digarisbawahi oleh Komandan Militer Jepang, Sekutu akan datang dan mengembalikan Hindia Belanda kepada Belanda," tulis Anton E Lucas dalam "Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi Dalam Revolusi".
Baca juga: Mengenal Gatot, Bocah 15 Tahun yang Menjadi Kurir Proklamasi Kemerdekaan RI
Para pangreh praja tengah berikhtiar mencari selamat. Terutama dalam rangka mengamankan jabatannya. Orang Jawa pro republik menyindir sikap pragmatis itu dengan adagium : Jepang menang melu Jepang, Londo menang melu Londo (Jepang menang ikut Jepang, Belanda menang ikut Belanda). Di Kabupaten Brebes, Bupati setempat bahkan tidak mempercayai kekuatan proklamasi kemerdekaan.