NEW YORK - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) AntĂłnio Guterres menegaskan ketimpangan ketersediaan vaksin Covid-19 di antara negara-negara kaya dan miskin adalah hal yang bodoh.
“Tidak memiliki distribusi vaksin yang merata bukan hanya masalah tidak bermoral, tetapi juga masalah kebodohan,” terangnya pada Kamis (7/10).
Guterres yang frustrasi mengatakan upaya negara-negara maju untuk mendorong rakyat mereka akan divaksinasi satu, dua atau tiga kali akan berantakan jika daerah-daerah lain di dunia masih belum divaksinasi dan varian-varian baru Covid bermunculan.
PBB dan Organisasi Kesehatan Dunia mencari dana sebesar USD8 miliar (Rp114 triliun) untuk menerapkan strategi mereka memvaksinasi 40 persen populasi setiap negara pada akhir tahun ini dan 70 persen pada pertengahan 2022.
(Baca juga: WHO: Negara-negara Kaya Jangan Hambat COVAX)
Rencana ini akan membuat negara-negara kaya bertukar waktu pengiriman vaksin dengan negara-negara miskin dan juga akan membuat negara-negara kaya memenuhi komitmen donasi vaksin mereka untuk COVAX, suatu prakarsa global untuk akses yang adil ke vaksin Covid-19.
“Kita masih dapat mencapai target-target untuk tahun ini dan tahun mendatang, tetapi ini akan membutuhkan level komitmen politik, aksi dan kerja sama, melampaui apa yang telah kita lihat hingga kini,” kata Dirjen WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Sementara itu di AS, sebuah studi yang hasilnya dimuat hari Kamis di jurnal medis Pediatrics menyatakan, lebih dari 120 ribu anak-anak keturunan minoritas di AS telah kehilangan pengasuh utama mereka, termasuk orang tua atau kakek-nenek yang bertanggung jawab atas kebutuhan anak tersebut, karena pandemi Covid-19.
(Baca juga: PBB Serukan Negara-negara Kaya Bentuk Satgas Vaksinasi Covid-19 Global)
Kajian ini merupakan kolaborasi antara Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), Imperial College London, Harvard University, Oxford University, dan the University of Cape Town, Afrika Selatan. Studi ini didanai sebagian oleh National Institute on Drug Abuse (NIDA) , bagian dari National Institutes of Health, serta Imperial College London.
Baca Juga: KKP Pastikan Proses Hukum Pelaku Perdagangan Sirip Hiu Ilegal di Sulawesi Tenggara