“Adik laki-laki saya tewas dalam serangan bunuh diri yang dilakukan ISIS di bandara. Umurnya 23 tahun. Hampir 43 hari telah berlalu sejak serangan itu terjadi, akan tetapi hati kami masih terluka dan masih ada rasa duka di rumah kami. Kami bahkan tidak bisa memajang foto adik kami di dinding. Kami pun menghapus foto-fotonya dari handphone kami, karena kenangan tentangnya sangat menyakitkan bagi kami," lanjutnya.
Saking banyaknya korban tewas akibat serangan bom bunuh diri, warga Hazara memiliki pemakaman khusus di Kabul, dengan sebutan “Kebun Para Martir,” yang menjadi tempat peristirahatan terakhir korban-korban tewas dalam serangan bom sekolah Mei lalu.
Warga etnik Hazara di Afghanistan telah lama didiskriminasi dengan berbagai alasan, salah satunya agama yang mereka anut. Meski ribuan telah tewas saat Taliban memerintah pada 1996-2001, keberadaan ISIS di Afghanistan pada awal tahun 2015-lah yang menjadikan mereka dan komunitas Syiah secara umum sebagai target sistematis.
Ratusan orang tewas dalam banyak serangan bunuh diri di masjid maupun pusat keramaian oleh militan Sunni garis keras yang tidak menganggap mereka sebagai Muslim sejati, menimbulkan kekerasan sektarian yang menghancurkan negara-negara seperti Irak dan Afghanistan.
Meski Taliban telah berjanji semua kelompok etnik di Afghanistan akan dilindungi, aksi-aski pembunuhan terus terjadi semenjak mereka merebut kekuasaan Agustus lalu. Dengan lebih dari 400 masjid Syiah di Kabul saja, rasa aman sulit terwujud karena tidak ada yang tahu di mana serangan berikutnya akan terjadi.
Hussain Rahimi (23), warga etnik Hazara, mengatakan setiap kali ia berangkat ke masjid untuk beribadah, ia selalu membaca kalimat syahadat, karena tak tahu apakah ia akan selamat pulang ke rumah.