SEBAGIAN warga Sragen masih memegang teguh kepercayaan atau mitos yang kadang sulit diterimalogika. Terlepas dari kontroversi yang ada, mitos yang berkembang menjadi bagian dari khasanah kebudayaan masyarakat Jawa.
Dilansir dari Solopos.com, berikut ini enam mitos populer yang berkembang di masyarakat Sragen :
1. Mitos Pengantin Dibopong ke Sendang
Ritual unik harus dijalani pasangan pengantin asal Dukuh Sendang, Desa Kalangan, Gemolong, Sragen. Sepasang pengantin yang sudah dirias akan dibopong warga menuju ke sendang tak jauh dari kampung tersebut.
Terdapat dua sendang di lokasi. Warga biasa menyebutnya dengan istilah sendang lanang dan sendang wadon. Sendang itu memiliki sumber air yang tak pernah kering. Sendang di bawah pohon yang rindang itu sudah dimanfaatkan airnya oleh warga sekitar sejak zaman nenek moyang.
Di dekat sendang itu terdapat sebuah patung ganesha yang bagian kepalanya sudah hilang. Sendang itu menjadi ramai saat warga setempat menggelar hajatan pernikahan.
Warga berdatangan untuk menyaksikan ritual yang dijalani pasangan pengantin sebelum mengikuti prosesi pernikahan di rumah. Ritual ini tidak bersifat wajib. Namun, warga sekitar menganjurkan tradisi ini dijalani pengantin yang pasangan perempuannya adalah warga sekitar.
Setelah dibopong menuju sendang, pasangan pengantin itu diminta duduk di atas tikar. Di atas tikar itu keduanya diajak berdoa oleh seorang nenek tua yang memimpin ritual. Di hadapan mereka, terdapat kendi yang berisi air dari sendang.
Selanjutnya, nenek itu mengajak pasangan pengantin berdiri. Nenek itu tua itu selanjutnya mengucurkan air dalam kendi. Dia berjalan diikuti pasangan pengantin dan pengiringnya. Mereka memutari lokasi hingga tiga kali, sesuai dengan garis yang dibuat dari kucuran air kendi itu.
“Saya sudah coba mengorek informasi dari sesepuh warga di sini. Ritual itu belum ada namanya. Saya sendiri menamakannya dengan tradisi kethur kendi. Ini adalah salah satu kearifan lokal di Desa Kalangan warisan nenek moyang yang masih tetap lestari hingga sekarang,” ujar Yoto Teguh Pambudi, warga Dukuh Sendang, Desa Kalangan, saat berbincang dengan Solopos.com.
Selain pasangan pengantin, beberapa peralatan gamelan juga dibawa warga ke sendang. Gamelan itu dibunyikan untuk mengiringi perjalanan pasangan pengantin selama mengikuti ritual. Tradisi yang dijalani pasangan pengantin itu sudah membudaya di lima dukuh di dua desa.
Mereka adalah Sendang, Nglebak, Brumbung, Sentana (Desa Kalangan) dan Desa Nglebak Nganti (Desa Nganti). Sebagian warga percaya ritual itu harus dijalani pasangan pengantin. Bila tidak dilaksanakan, sebagian warga khawatir kehidupan paskapernikahan itu akan mendapat banyak cobaan atau rintangan.
“Itu sebenarnya hanya mitos. Boleh percaya, boleh tidak. Bagi warga pendatang seperti saya, itu adalah tradisi budaya yang menarik. Itu adalah kearifan lokal yang tidak ada di desa lain. Saya menganggapnya sebagai khasanah budaya yang perlu dilestarikan. Mungkin bagi warga asli sini, tradisi itu dianggap hal biasa dan tidak ada yang istimewa,” papar Teguh.
Ritual kethur kendi itu memiliki makna filosofis. Lewat tradisi ini, pasangan pengantin diajak senantiasa bersyukur atas nikmat Ilahi sebagai bekal membina mahligai rumah tangga. Air adalah salah satu rizeki dari Allah yang harus disyukuri.
“Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, tanaman pangan akan mati. Padahal, manusia tidak bisa hidup tanpa makanan yang dihasilkan dari tanaman. Itulah sebabnya, pasangan pengantin itu diajarkan bagaimana bersyukur atas nikmat Ilahi,” jelas Teguh.
Baca Juga : Mitos Larangan Menikah Pria Kudus dengan Wanita Jepara, Bermula dari Ratu Kalinyamat?
2. Mitos Batu Keramat Pasar Kota Sragen
Tepat di sebelah barat sumur yang berada di bagian tengah pasar, terdapat salah satu los yang berbeda dengan los pedagang pada umumnya. Jika los lain berisi aneka dagangan milik pedagang, los ini hanya berisi dua buah batu.
Namun, dua buah batu yang berukuran cukup besar itu bukan sekadar batu biasa. Dua buah batu itu ternyata cukup dikeramatkan di kalangan pedagang dan pengunjung pasar.
Permukaan satu dari dua batu besar sedikit cekung. Satu batu lainnya memiliki permukaan yang datar. Di atas dua batu itu terdapat bunga tabur. Di antara dua batu itu terdapat sebuah tungku yang biasa dipakai untuk menyalakan dupa atau wewangian bakar. Di depan batu itu terdapat tikar yang terbuat dari serat pelepah pisang.
Tikar itu biasa dipakai para peziarah duduk bersila. Para pedagang biasa menyebut dua batu besar itu Mbah Watu atau Eyang Watu. Ada yang menyebut dua batu besar itu sebagai makam Mbah Watu atau Eyang Watu.
Ada pula yang menyebut bahwa dua batu itu semacam petilasan dari Mbah Watu. Namun, siapakah Eyang Watu itu, belum ada penjelasan lebih lanjut. Ada pula yang penyebut Mbah Watu merupakan sebutan dua batu besar itu sendiri.
Ketua Kerukunan Pedagang Pasar Kota Sragen (KPPKS), Mario, mengakui tidak mengetahui cerita sejarah terkait siapa itu Eyang Watu. Menurut sekelumit cerita yang dia ketahui, Eyang Watu merupakan sebutan dua batu besar yang berada di tengah Pasar Kota Sragen.
“Ceritanya dulu, konon dua batu itu pernah dipindah ke pasar cilik yang berada di depan terminal lama [Terminal Bus Martonegaran], tapi kembali lagi ke Pasar Kota Sragen,” ujar Mario.
Menurut mitos yang berkembang di sebagian pedagang, sosok Eyang Watu menjadi “pelindung” para pedagang dari mara bahaya. Sebagian pedagang percaya bila suasana pasar lebih “adem” karena ada sosok Eyang Watu.
Baca Juga : Tradisi Seksual Kuno, Anak-Anak Boleh Seks Bebas Sebelum Menikah
3. Mitos Batu Tak Bisa Dipindah di Gebang
Sebuah batu dengan diameter sekitar satu meter berada tak jauh dari gua petilasan Pangeran Mangkubumi di Dukuh Gebangkota, Desa Gebang, Masaran, Sragen. Sebagian dari batu itu masih terpendam di tanah. Sepintas, tidak ada yang istimewa dari batu itu. Namun, batu itu ternyata cukup dikeramatkan oleh warga sekitar.
Batu itu berlokasi di tepi jalan yang masih berupa tanah. Supaya tidak menganggu akses jalan yang baru dibangun, warga setempat sempat ingin memindah batu itu ke lokasi lain. Sebuah ekskavator sudah dikerahkan untuk memindahkan batu itu dari tempatnya. Akan tetapi, nyatanya, ekskavator itu tak mampu mengangkat batu tersebut.